KEEFEKTIFAN PROBLEM POSING DITINJAU DARI
KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIS DAN
KREATIVITAS SISWA SD DI KABUPATEN MANGGARAI
Marselina
Lorensia
Maria Yetsiana
Wea
Program Studi
Pendidikan Matematika STKIP ST. Paulus Ruteng
Jln. Jendral A.
Yani No 10 Ruteng Flores
marselina_lorensia@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis keefektifan pembelajaran problem posing dalam pembelajaran
matematika ditinjau dari kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas siswa SD
di kabupaten Manggarai tahun ajaran 2012/2013. Jenis penelitian ini adalah
penelitian eksperimen semu dengan menggunakan desain pre-test dan post-test
dengan kelompok nonekuivalen. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa SD IV di Kabupaten Manggarai dan sampelnya
adalah SDK Reo III dan SDI Iteng II yang dipilih menggunakan teknik Purposive
Sampling. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
teknik tes untuk mengukur kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas yang
berbentuk tes uraian. Teknik analisis data menggunakan multivariate analisis of
variance. Hasil uji Hotelling Trace (T2)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keefektifan pembelajaran problem posing
dengan konvensional ditinjau dari kemampuan memecahkan masalah an kreativitas
matematika siswa. Hasil uji t menunjukkan bahwa untuk aspek memecahkan masalah
matematika pembelajaran problem posing tidak lebih efektif dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional, akan tetapi pada aspek kreativitas problem posing
lebih efektif. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran problem
posing lebih efektif daripada
pembelajaran
konvensional ditinjau dari kreativitas
matematika pada siswa di Kabupaten
Manggarai tahun 2012/2013.
Kata Kunci: Problem posing, memcahkan masalah, kreativitas.
PENDAHULUAN
Dalam
kehidupan, setiap orang tentunya mengalami masalah. Menurut Gorman (1974: 293)
dan Lester (1980: 287), masalah atau problem adalah situasi yang mengandung
kesulitan bagi seseorang dan mendorong untuk mencari solusinya. Jadi masalah adalah pertanyaan, soal, atau tugas yang
menimbulkan kesulitan bagi seseorang maupun sekelompok orang karena prosedur
penyelesaiannya belum diketahui tetapi harus diselesaikan. Ada beberapa masalah
yang bisa dipecahkan menggunakan ilmu pengetahuan. Salah satu ilmu pengetahuan
yang dapat membantu seseorang memecahkan masalah adalah matematika. Oleh karena
itu salah satu kegunaan matematika sekolah adalah memecahkan masalah yang
dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari (Suherman, et al. 2003: 60). Untuk bisa memecahkan masalah, siswa tentunya
harus dibekali dengan kemampuan untuk memecahkan masalah. Menurut Polya (1985:
5), pekerjaan guru yang penting dalam pembelajaran matematika adalah membangun
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Senada dengan itu menurut NCTM ( Reys, et
al, 1998: 13), komponen esensial yang pertama dalam pembelajaran matematika
adalah pemecahan masalah. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam NCTM (2000: 52)
yang menyatakan bahwa “problem solving is
an integral part of all mathematics learning”. Hanya dengan mengetahui fakta-fakta dasar dan rumus tidaklah cukup
untuk bisa
memecahkan berbagai masalah
dan situasi yang muncul dalam kehidupan.
Kemampuan siswa untuk menghitung secara efisien dan akurat juga penting dalam
pembelajaran matematika, namun kemampuan pemecahan masalah juga hal yang tak
kalah penting ketika siswa melakukan perhitungan (Burns, 2007: 172). Oleh
karena itu, kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu tujuan dari
pelaksanaan pembelajaran matematika khususnya di sekolah dasar (Depdiknas,
2006: 345).
Terdapat
banyak interpretasi tentang kemampuan pemecahan masalah dalam matematika.
Diantaranya adalah pendapat Polya (1985: 5) yang banyak dirujuk pemerhati
matematika. Polya mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu
segera dapat dicapai. Pemecahan masalah menurut Woolkfolk (1980: 295) adalah
kegiatan membangun sebuah jawaban baru yang tak terbatas pada aplikasi sederhana
dengan aturan yang dipelajari sebelumnya untuk mencapai tujuan. Menurut Lester
dan Garofalo (1980: 287), pemecahan masalah adalah tindakan yang
dilakukan untuk menyelesaikan suatu tugas. Jadi pemecahan masalah dapat
diartikan sebagai aktivitas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi atau mencari jawaban yang atas pertanyaan
yang diberikan. Menurut Haylock & Thangata (2007: 146), kemampuan
memecahkan masalah adalah kemampuan yang menggunakan pengetahuan dan pemahaman
matematika individu untuk menutup gap yang terjadi antara harapan dan
kenyataan. McIntosh
& Jarret (2000: 6) menambahkan pemikiran dan
keterampilan dibutuhkan untuk mentransfer pemecahan masalah matematika ke area kehidupan yang lainnya.
Menurut
Riedesel (1985: 81), pemecahan masalah mengacu pada dua keadaan yaitu 1)
masalah terbuka, situasi non rutin yang membutuhkan pengamatan, mengumpulkan
data, membuat prediksi, menguji prediksi, menemukan solusi sementara dan
menguji solusi, dan 2) situasi kuantitatif yang diberikan dalam bentuk lisan dan
tulisan dalam konteks pertanyaan atau pernyataan yang kalimatnya tidak lengkap
yang membutuhkan operasi matematis.
Untuk
tahap-tahap memecahkan masalah, Polya (1985: 6-14) menguraikan proses yang
dapat dilakukan pada setiap langkah pemecahan masalah. Proses tersebut
terangkum dalam empat langkah berikut.
1) memahami masalah, 2) merencanakan penyelesaian, 3)
melaksanakan rencana, dan 4) memeriksa
proses dan hasil. Sedangkan menurut Dewey (Posamentier & Stepelmen, 1999:
110) menguraikan tahapan pemecahan masalah adalah sebagai berikut: 1) mengenali
adanya masalah; 2) mengidentifikasi masalah; 3) memanfaatkan pengalaman
sebelumnya misalnya, informasi yang relevan, penyelesaian-penyelesaian, atau
gagasan-gagasan terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hipotesis dan proposi
pemecahan masalah; 4) menguji hipotesis-hipotesis atau kemungkinan- kemungkinan
penyelesaian secara berurutan (jika perlu merumuskan kembali masalah tersebut);
dan 5) mengevaluasi penyelesaian-penyelesaian dan menarik kesimpulan berdasarkan
bukti. Senada dengan itu, Frei (2008: 123–125) menyatakan tahapan pemecahan
masalah adalah: Memahami masalah, merencanakan dan mengkomunikasikan solusi,
memeriksa kembali dan mengeneralisasikan dan perluasan.
Matematika sangat diperlukan oleh siswa
dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu memecahkan permasalahan dan
kemampuan yang dibutuhkan untuk dapat mengatasi berbagai masalah matematis
adalah kreativitas. Kesuksesan seseorang
ditentukan oleh kreativitasnya menyelesaikan masalah yang dihadapi. Seorang
yang kreatif akan memandang masalah sebagai tantangan yang harus diselesaikan
bukan untuk dihindari. Oleh karena itu pengembangan kreativitas merupakan salah
satu fokus dari pembelajaran matematika. Menurut Downing (1997: 4), kreativitas
adalah proses memproduksi daya pikir dari seluruh elemen yang ada dengan
menyusunnya kembali dalam sebuah konfigurasi baru. Sedangkan menurut Santrock
(1995: 327), kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu dengan
cara-cara yang baru dan tidak biasa dan melahirkan suatu solusi yang unik
terhadap masalah-masalah. Dengan kata lain, kreativitas merupakan hasil dari
proses berpikir seseorang yang tercermin melalui aktivitas mereka untuk
menghasilkan sesuatu yang baru. Jadi dapat dikatakan bahwa kreativitas merupakan
hasil dari berpikir kreatif.
Masing-masing manusia memiliki kemampuan
berpikir yang berbeda-beda. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kemampuan
berpikir tidak dapat dikembangkan. Menurut Munandar (2009: 40), kreativitas
dalam matematika yang berupa kemampuan berpikir kreatif adalah berpikir untuk
memberikan macam-macam kemungkinan jawaban benar ataupun cara terhadap suatu
masalah berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada jumlah dan
kesesuaian. Menurut Meador (1997: 2), berpikir kreatif merupakan hasil siswa
memodifikasi/menjawab produk yang sudah ada atau, merumuskan ide baru, atau
menggabungkan ide-ide yang ada dengan cara baru. Berdasarkan definisi di atas,
dapat dikatakan bahwa kreativitas adalah suatu hasil yang didapatkan ketika mendatangkan atau
memunculkan suatu ide baru, yang dapat terjadi dengan menggabungkan ide-ide
yang sebelumnya yang belum dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi yang dapat dilakukan dengan banyak solusi, sehingga dikatakan bahwa
kreativitas atau kemampuan berpikir kreatif dapat berkembang melalui
masalah-masalah terbuka atau divergen.
Dalam hubungan dengan komponen kreativitas,
menurut Olson (1980: 11) kreativitas terdiri dari dua unsur yaitu kefasihan dan
keluwesan. Kefasihan ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar
gagasan pemecahan masalah secara lancar dan cepat. Keluwesan pada umumnya
mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa
untuk memecahkan suatu masalah. Sedangkan Guilford (Park, 2004: 36) mengistilahkan kreativitas sebagai produksi
divergen yang memiliki 4
komponen, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan/fleksibilitas (flexibility),
keaslian/kebaruan (originality), dan keterincian/elaborasi (elaboration).
Dalam hal ini, aspek kelancaran merujuk pada kemudahan menghasilkan ide atau
menyelesaikan masalah. Keluwesan merujuk pada kemampuan untuk meninggalkan cara
berpikir lama dan mengadopsi ide atau cara berpikir baru. Keluwesan juga
ditunjukkan oleh beragamnya ide yang dikembangkan. Kebaruan merujuk pada
kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang tidak biasa. Sedangkan keterincian
merujuk pada kemampuan individu untuk memberikan penjelasan secara rinci dan
runtut terhadap ide yang diberikan.
Pentingnya matematika tidak sejalan dengan
kenyataan yang terjadi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
orang menganggap matematika adalah hal yang sulit untuk dipelajari, khususnya
anak usia SD. Hal ini berakibat kemampuan atau kompetensi yang diharapkan untuk
dikuasai siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran tidak bisa dimiliki siswa.
Anggapan di atas semakin diperparah oleh adanya berbagai permasalahan yang
timbul ketika proses pembelajaran matematika berlangsung. Pembelajaran yang dilakukan guru hanya
menekankan aspek menghafal konsep dan belum menyentuh aspek penguasaan
keterampilan atau kemampuan matematis sehingga siswa hanya ditempatkan sebagai
obyek pasif yang bertugas mendengar, mencatat dan menghafal disebabkan
kurangnya pengetahuan dan pemahaman guru tentang pembelajaran yang inovatif
ditambah lagi kurangnya kreativitas. Dampak dari kurangnya kreativitas guru
adalah materi dan konsep yang diberikan merupakan bahan jadi (kopian) dari
materi yang terdapat dalam buku paket sehingga materi yang disajikan jauh dari
kehidupannya. Pembelajaran yang dilakukan belum menyentuh aspek masalah yang
dihadapi siswa sehingga siswa tidak merasakan manfaat yang diperoleh dari
pembelajaran matematika. Padahal guru menyadari bahwa ada banyak masalah di
sekitar siswa yang berhubungan dengan matematika dan akan bisa diselesaikan
jika siswa mempunyai kemampuan memecahkan masalah. Dalam pembelajaran
matematika selama ini para guru mungkin sering tidak menyadari bahwa terlalu
banyak memberi soal-soal dalam satu jenis saja. Sayangnya, soal-soal yang
sering diberi oleh guru tidak bernuansa pemecahan masalah. Ini disinyalir oleh
Gardiner (1987: 23): “Most of us learn mathematics as a collection of
standard techniques which are used to solve standard problems in predictable
contexts”.
Hal tersebut di
atas senada dengan yang diungkapkan Prabawanto (2009:
1) bahwa banyak
guru matematika menyandarkan pemilihan bahan ajar hanya dari buku teks yang
telah dipaket secara rapi dan baku. Dalam keadaan seperti ini, alternatif
penafsiran terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar siswa serta solusi
pemecahannya tidak diperhatikan sebagaimana mestinya. Praktik pembelajaran yang
kurang memperhatikan masalah-masalah sekitar siswa ini tampaknya tidak akan
efektif untuk membekali siswa dengan kemampuan pemecahan masalah yang kompleks
yang ada dalam kehidupan nyata di luar kelas. Di samping itu, masih banyak guru
yang beranggapan bahwa tugas utama mengajar pembelajaran matematika adalah
kegiatan memperkenalkan kepada siswa konsep-konsep dan algoritma-algoritma untuk
menyelesaikan soal-soal matematika. Dalam lingkungan belajar seperti ini, upaya
siswa untuk membentuk dan menyusun cara-cara baru menyelesaikan masalah
matematika kurang memperoleh perhatian dibanding dengan kemampuan mereproduksi
jawaban berdasarkan atas algoritma standar yang pernah disampaikan guru.
Keadaan seperti ini tampaknya kurang memberi peluang kepada siswa untuk
mengeksplorasi pemahaman baru terhadap masalah-masalah matematika yang
berkaitan dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar siswa dan mengembangkan
kemampuan berpikir kreatifnya untuk menemukan dan memecahkan masalah.
Kenyataan di
atas sejalan dengan yang terjadi di Kabupaten Manggarai. Berdasarkan hasil
pengamatan dan wawancara peneliti dengan beberapa guru dan siswa SD,
pembelajaran matematika masih menekankan pada bagaimana siswa bisa menghafal
prosedur penyelesaian soal-soal dari buku paket. Pembelajaran belum menyentuh
aspek pemecahan masalah karena guru lebih menekankan target penguasaan materi
dalam SKL. Tambahan pula untuk menyajikan pembelajaran dengan pemecahan masalah
masih sulit karena kurangnya kreativitas guru membuat masalah yang cocok dengan
materi yang diajarkan sehingga materi masalah masih merupakan materi yang sulit
dalam penyajiannya. Kurangnya kreativitas guru tentunya juga berakibat pada
tidak dikembangkannya kreativitas siswa khususnya dalam berpikir.
Hal tersebut
di atas menunjukkan rendahnya kualitas pembelajaran matematika yang dijalankan
selama ini. Rendahnya
kualitas pembelajaran matematika adalah sebagai akibat kurangnya penekanan
pembelajaran matematika pada aspek pemecahan masalah. Padahal, salah satu
kompetensi penting dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan pemecahan
masalah, ditambah lagi ujian akhir yang dilaksanakan maupun tes yang dilaksanakan
oleh PISA dan TIMSS lebih banyak menguji kemampuan pemecahan masalah
(Yunengsih, et al, 2008: 25).
Permasalahan tersebut di atas perlu
dipecahkan mengingat kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas sangat
dibutuhkan siswa khususnya di SD. Nilai matematika siswa dari tahun-ke tahun
tidak mengalami peningkatan dan kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai oleh
semua siswa belum bisa terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang
dilakukan belum dilakukan secara optimal. Untuk mengatasi masalah yang dihadapi
dalam pembelajaran matematika maka penelitian ini akan dilakukan dengan
menerapkan problem posing dalam pembelajaran matematika. Problem posing merupakan istilah asing
yang dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “pembentukan atau pengajuan
masalah”. Jadi problem posing
diartikan sebagai proses pembentukan masalah baru atau memformulasikan masalah
yang telah ada (Stoyanova & Ellerton, 2005: 518, Cristou et al, 2005: 127, Bonotto, 2005: 3).
Brown &
Walter (2005: 19) menyatakan bahwa pengajuan masalah matematika terdiri dari
dua aspek penting, yaitu accepting, memahami
situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sulit ditentukan dan challenging mengajukan masalah
matematika. Problem posing melibatkan penciptaan masalah dan pertanyaan baru ditujukan untuk mengeksplorasi
suatu situasi tertentu serta reformulasi masalah selama proses pemecahan masalah tersebut (Lavi &
Shiriki: 2007: 129). Silver (Hamzah, 2003: 18) menambahkan bahwa problem posing merupakan proses
pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada dan
proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri
berdasarkan situasi yang diberikan. Jadi masalah matematika yang diajukan oleh
siswa mengacu pada situasi yang telah disiapkan oleh guru. Brown &Walter
(1993: 302) menambahkan bahwa masalah dapat dibangun melalui beberapa bentuk
antara lain; gambar, benda manipulatif, permainan, teorema/konsep, alat peraga,
soal, dan solusi dari soal. Tujuan problem
posing, menurut Brown & Walter (2005: 5) akan mengurangi kecemasan
siswa terhadap matematika dan siswa akan termotivasi untuk selalu menemukan
masalah-masalah baru. Fox & Surtees (2010: 50) menyatakan bahwa problem posing dapat memberdayakan siswa
dalam proses pembelajaran karena mereka sendiri yang menentukan
pertanyan-pertanyaan yang harus dijawab sehingga menghilangkan asumsi bahwa
hanya ada satu cara untuk memecahkan masalah dan hanya ada satu jawaban yang
benar.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan problem posing guru sebaiknya mempersiapkan
strategi yang akan dilakukan. Xiaogang
Xia, Chuanhan Lü & Bingyi Wang
(2008: 157) menyatakan bahwa strategi guru yang utama adalah: menyiapkan
situasi matematika yang menyebabkan problem
posing, berdiskusi dan bertukar
ide, meningkatkan pembelajaran kooperatif, memberikan perhatian pada pemecahan masalah
dan aplikasi matematika, menentukan tugas-tugas situasional, melaksanakan aktivitas matematika,
melampirkan ceramah yang penting secara intensif, membimbing siswa berpikir,
memberikan perhatian pada mengkaji
dan menyimpulkan, dan mengembangkan
peranan meta-kognisi siswa. Sedangkan menurut Boyce (2007: 7) problem posing dimulai dengan siswa
menulis, mendiskusi berbagai gagasan, memeriksa secara kritis pengetahuan di
lapangan, mengidentifikasi aspek individu dan masalah dalam konteks sosial, dan
mengidentifikasi tindakan-tindakan kolektif.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa problem posing dapat membantu siswa dalam
mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab masalah
dibentuk oleh siswa itu sendiri dan ide-ide yang dimilikinya digunakan untuk
memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan performanya dalam
pemecahan masalah. Problem posing juga sebagai sarana pengembangan
kreatifitas karena siswa dituntut untuk menghasilkan karya/produk baru dalam
bentuk soal/masalah serta menyelesaikannya. Problem
posing juga akan merangsang peningkatan kemampuan matematika siswa, sebab
dalam mengajukan soal siswa perlu membaca suatu informasi yang diberikan dan
mengkomunikasikan pertanyaan secara verbal maupun tertulis kemudian
menyelesaikan soal. Dalam pembelajaran dengan problem posing siswa baik secara individu maupun kelompok membuat
soal dalam berbagai bentuk lalu dikerjakan dan evaluasi secara bersama dengan
bimbingan dan arahan guru.
Mengingat
pentingnya kemampuan pemecahan masalah dan kreativitas dalam pembelajaran
matematika di SD, peneliti ingin menyajikan pembelajaran matematika dengan
menerapkan pembelajaran problem posing,
sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keefektifan
pembelajaran problem posing dalam
pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan memecahkan masalah dan
kreativitas.
Hasil Penelitian ini akan menunjukkan
apakah problem posing bisa menjadi
salah satu alternatif pembelajaran yang efektif untuk peningkatan kemampuan
memecahkan masalah dan kreativitas ataukah tidak berbeda dengan pembelajaran
konvensional. Melalui penelitian ini juga akan diperoleh gambaran tentang
kemampuan pemecahan masalah dan kreativitas dari sekolah dasar yang diteliti
baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
METODE
PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu
dengan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan memecahkan
masalah dan kreativitas matematika dan variabel bebasnya adalah pembelajaran problem posing. Desain penelitian ini
menggunakan desain pre-test dan post-test dengan kelompok nonekuivalen. Pre-test untuk melihat kondisi awal
siswa terhadap kemampuan
memecahkan masalah dan kreativitas siswa sebelum diberikan perlakuan. Sedangkan post-test digunakan untuk melihat keefektifan pembelajaran ditinjau
dari kemampuan memecahkan masalah dan
kreativitas setelah
diberikan perlakuan (Campbell & Stanley, 1972: 13).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitan eksperimen berupa 1) menentukan kelas
eksperimen dan kontrol, 2) memberikan tes awal terhadap dua kelompok
pada waktu yang relatif bersamaan, 3) melakukan pembelajaran dengan problem posing pada kelompok
eksperimen dan konvensional pada kelas
kontrol, dan 4) memberikan tes akhir pada kedua kelompok dalam waktu yang
bersamaan.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa SD kelas IV tahun pelajaran 2012/2013 di Kabupaten Manggarai dan
sampelnya adalah SDK Reo III dan SDI Iteng II yang dipilih menggunakan teknik Purposive Sampling. Purposive sampling dilakukan dengan pertimbangan bahwa siswa di
kedua sekolah ini memiliki masalah yang sama. Sampel ditentukan secara
nonproporsional atau sesuai banyaknya siswa di kelas masing-masing.
Untuk memperoleh bukti validitas instrumen dapat ditempuh
suatu proses validasi yaitu validitas isi (content
validity) dan validitas konstruk (construc
validity). Validitas isi instrumen tes dapat diketahui dari kesesuaian
instrumen tes dengan SKKD dan indikator yang ada yang dilakukan dengan
pertimbangan ahli (expert judgment). Validitas
konstruk mengacu pada sejauh mana suatu intrumen mengukur trait atau konstruk
teoritik yang menjadi dasar penyusunan istrumen tes. Untuk memperoleh bukti
validitas konstruk dilakukan uji coba. Data yang diperoleh dari hasil uji coba
dianalisis dengan menggunakan analisis faktor dengan terlebih dahulu melihat
matriks korelasi secara keseluruhan kemudian untuk melihat matriks korelasi
antar variabel maka digunakan uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO). Jika korelasi >
0,3 dan nilai KMO > 0,5 berarti analisis faktor dapat dilanjutkan dengan
melihat faktor-faktor yang terbentuk dengan melihat factor
loading atau muatan faktornya. Untuk mengetahui apakah suatu instrumen
reliabel atau tidak maka harus dihitung koefisien reliabilitasnya yakni
koefisien reliabilitas Alfa Cronbach.
Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan teknik tes, yang terdiri pre-test dan post-test.
Tes tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan memecahkan masalah dan
kreativitas. Adapun bentuk tes yang akan digunakan adalah tes uraian.
Sesuai
dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk memperoleh bukti empirik adanya
perbedaan keefektifan problem posing dan
konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas maka
analisis data yang dilakukan adalah menggunakan multivariate analisis of variance (Manova). Uji ini diwali dengan one sample t-test , dilanjutkan
dengan manova kemudian diakhiri dengan independent sample t-test. Asumsi yang harus dipenuhi dalam Manova adalah: 1) observasi-observasi
berasal dari populasi yang berdistribusi normal (Uji normal multivariat dilakukan dengan metode Kolmogorov-Smirnov), 2) matriks varian kovarian homogen (uji
homogenitas matriks kovarians dua kelompok dengan dua variabel dependen secara
simultan dilakukan melalui uji homogenitas Box-M.
Uji multivariat menggunakan statistik T2 Hotelling dengan
mentransformasikan nilai dari distribusi F. Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis adalah H0 diterima
jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 atau Fhitung ≥ Ftabel
pada taraf signifikansi 5%
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil analisis yang
menggunakan uji multivariate analisis of variance maka diperoleh informasi sebagai
berikut.
1.
Nilai
kemampuan pemecahan masalah dan kreativitas siswa kelas IV SDK Reo III dan SDI
Iteng II sebelum diadakan pembelajaran dengan problem posing tidak berbeda yakni belum maksimal. Nilai pre-test kemampuan memecahkan masalah
dan kreativitas pada kelompok problem
posing tidak ada melebihi 8 bahkan untuk variabel kreativitas baik untuk
kelas eksperimen atau kontrol nilai terendah yang dicapai adalah nol. Dari
hasil pre-test juga diperoleh
informasi bahwa kedua kelas sampel dengan uji normalitas mendapatkan hasil
normal dan pada uji homogenitas hasilnya homogen. Berdasarkan hasil analisis
dengan one sample t-test, pada kelas problem posing untuk skor kemampuan
pemecahan masalah matematis dengan test-value 10 diperoleh thitung =
8,298, untuk skor posttest kreativitas matematika
diperoleh thitung = 4,789. Kedua nilai thitung ini
menunjukkan hasil signifikansi yaitu 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran problem posing efektif
ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kreativitas matematika.
Pada kelas konvensional untuk skor kemampuan
pemecahan masalah matematis dengan nilai test-value 10 diperoleh thitung = 6,81,
untuk skor kreativitas matematis diperoleh thitung
= 9,415. Kedua nilai thitung ini menunjukkan hasil signifikansi
yaitu 0,000.
Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran konvensional efektif ditinjau dari
kemampuan pemecahan masalah dan kreativitas matematis siswa.
2.
Selanjutnya
dari uji multivariat kondisi awal, nilai pre-test
kelompok problem posing dan
konvensional pada masing-masing kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas
memberikan mean yang tidak jauh berbeda. Hal
ini dilihat dari tingkat keefektifan masing-masing treatment ditinjau dari
kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas dengan mennggunakan one
sample t-tes dengan α=0,05 dan kriteria 10, dimana nilai t yang diberikan
< 0,05. Sehingga karena kondisi awal kedua kelas yang sama peneliti dapat
melanjutkan penelitian dengan membandingkan hasil dari aspek pemecahan masalah
dan kreativitas matematika setelah treatment
.
3. Berdasarkan
analisis menggunakan manova, dengan
membandingkan nilai signifikansi dan taraf signifikansi yang digunakan,
diperoleh bahwa nilai F = 10,213 dan
nilai sig = 0,000<0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak, artinya
terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas siswa pada kelas problem posing dan konvensional. Hasil
uji ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keefektifan pembelajaran problem posing dengan konvensional
ditinjau dari kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas matematika siswa.
4. Karena hasil uji manova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan
pemecahan masalah dan kreativitas pada kelompok problem posing dan konvensional maka tahapan berikutnya adalah
mengecek variabel yang memberikan sumbangan terhadap perbedaan. Uji lanjut
menggunakan independent-samples T-Test
pada α = 0,05. Berdasarkan analisis independent-samples T-Test, pada skor kemampuan memecahkan
masalah pada kelas pembelajaran problem
posing dan konvensional diperoleh
thitung sebesar 0,893 dan nilai signifikansi adalah 0,376 sehingga dapat
disimpulkan H0 diterima. Dengan kata lain pembelajaran
matematika menggunakan problem posing
tidak lebih efektif daripada pembelajaran konvensional terhadap
kemampuan pemecahan masalah. Untuk skor
kreativitas matematis diperoleh thitung
sebesar -2,060
kemudian
nilai signifikansi adalah 0,044 sehingga dapat disimpulkan H0
ditolak. Dengan demikian pembelajaran
problem posing lebih
efektif dibandingkan pembelajaran konvensional terhadap kreativitas matematis siswa
5. Hasil uji t menunjukkan bahwa
untuk aspek memecahkan masalah matematika pembelajaran problem posing tidak lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional, akan tetapi pada aspek kreativitas problem posing lebih efektif. Pembelajaran problem posing tidak lebih efektif daripada konvensional pada aspek
kemampuan memecahkan masalah, hal ini dapat diartikan bahwa kedua jenis
pembelajaran ini tidak ada yang lebih unggul pada aspek kemampuan memecahkan
masalah atau dengan kata lain pembelajaran problem
posing dan konvensional sama efektifnya dalam meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah matematika siswa. Sedangkan untuk kreativitas matematika,
pembelajaran problem posing ternyata
lebih efektif. Ini berarti bahwa pembelajaran problem posing lebih cocok digunakan untuk meningkatkan kreativitas
matematika siswa.
6. Aspek kemampuan memecahkan masalah dugaan awal tersebut tidak sejalan
dengan data yang diperoleh di lapangan, hal ini diduga bisa terjadi karena cara
belajar siswa sudah terpola dengan cara-cara lama dimana ketika dihadapkan pada
masalah-masalah siswa tidak dibiasakan untuk memahami masalah tersebut tetapi
langsung menentukan pemecahan masalah tersebut. Sebagai contoh pada aspek
memahami masalah, dimana pada bagian ini siswa hanya menulis kembali soal tanpa
bisa menyimpulkan keterangan apa yang disajikan dalam soal yang akan digunakan
dan keterangan apa yang dibutuhkan oleh penanya dari masalah tersebut. Ini
tentunya menyebabkan kurang tepatnya pemilihan rencana solusi dan solusi yang
akan dilakukan.
7.
Pada aspek kreativitas,
pembelajaran problem posing lebih
efektif daripada konvensional, hal ini terjadi karena pada pembelajaran problem posing memberi kesempatan
kebervariasian jawaban siswa. Pada saat mengerjakan LKS , siswa diwajibkan membuat soal yang
disesuaikan dengan keterangan yang diberikan. Masalah siswa yang satu dengan
yang lain bisa berbeda-beda sehingga memperbesar kemungkinan masalah yang
diberikan adalah hasil ide mereka sendiri. Keadaan ini didukung lagi dengan
penyelesaian/jawaban dari masalah yang diberikan wajib dibuat oleh si pembuat
soal sehingga siswa semakin kaya dengan berbagai soal dengan cara
penyelesaiannya. Keberagaman soal disertai jawaban soal membuat
kreativitas matematika siswa bisa
meningkat.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa: Pendekatan
pembelajaran problem posing lebih
efektif daripada pembelajaran konvensional
ditinjau dari kreativitas matematika, namun problem posing tidak lebih efektif
daripada pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan memecahkan
masalah matematika pada siswa kelas SD di Kabupaten Manggarai tahun 2012/2013.
REFERENSI
Bonotto, Cinzia. Realistic
Mathematical Modelling and Problem Posing. Department of Pure and Applied
Mathematics. Italy: University of Padova, Italy. 2005.
Boyce, M. E. Teaching Critically as An Act Of Praxis and Resistence. http://www.nap.edu.com diakses tanggal
5 agustus 2011
Brown, S.I &
Walter, M. I. Problem Posing Reflection
and Applications. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates,
Publishers. 1993
…….. The Art
of Problem Posing. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates,
Publishers. 2005.
Burns, M. About Teaching
Mathematics a K-8 Resource. (3th ed.) Susucalito CA: Math
Solution Publication. 2007.
Campbell, D.T
& Stanley, J.C Experimental and Quasi Experimental Designs
For Research. New York: Rand McNally & Company Library of Congress.
1972.
Cristou, et al, “Problem Solving
and Problem Posing in a Dynamic
Geometry Environment. The Montana Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, Vol. 2, no.2, pp. 125-143. 2005.
Depdiknas.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia no 22, tahun 2006 tentang standar isi. 2006.
Downing, J.P. Creative Teaching: Ideas to Boast Student
Interest (Versi Elektronik). A Division of Libraries Unlimited, Inc. United
States of America: Teacher Ideas Press. Diambil tanggal 11 Agustus 2011.
Tersedia http://www.gigapedia.com. 1997.
Frei, S. Teaching Mathematics Today. Huntington
Beach California: Shell Education. 2008.
Gardiner, A. Discovering
Mathematics, The Art of Investigation. New York: Oxford University Press
Inc. 1987.
Gorman, R.M. The Psychology of Classroom Learning: An Inductive Approach.
Columbus, Ohio: Meril Publishing Company. 1974.
Haylock, D, & Thangata, F. Key
Concepts in Teaching Primary Mathematics. London: SAGE Publications. 2007.
Lester, F.K &
Garofalo J. Mathematical Problem Solving (Issues in Research). United State of America : The Franklin Institute. 1980.
McIntosh, R.
& Jarret, D. Teaching Mathematical Problem Solving: Implementing the
Vision. New York: NWREL, Mathematics and Science Education Center. 2000.
Meador, K.S.
“Creative Thinking and Problem Solving for Young Learners Gifted Treasury
Series” (Versi Elektronik). United State of America: Teacher ideas Press.
Diambil tanggal 11 Agustus 2011.Tersedia http://www.gigapedia.com. 1997.
NCTM.
Principles
and Standards for School Mathematics. United
States: National Council of Teachers of Mathematics, Inc. 2000.
Olson,
R.W. Seni Berpikir Kreatif. (Terjemahan
Alfonsus Samosir). Jakarta: Penerbit Erlangga. 1980.
Park, H. The
Effects of Divergent Production Activities With Math Inquiry and Think Aloud Of
Students With Math Difficulty. Disertasi Pada Texas A & M
University. [Online] Tersedia: http://txspace.tamu.edu/bitstream/
handle/1969.1/2228/etd-tamu-2004;jsessionid=BE099D46D00F1A54FDB
51BF2E73CC609?sequence=1. [15 November 2011]. 2004.
Polya, G. How
To Solve It, a New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princeton
University Press. 1985.
Posamentier, A.S., & Stepelman, J. Teaching Secondary School Mathematics Techniques and
Enrichment Unite (5th Ed). Upper
Saddlle River, NJ: Pretitice Hall. 1999.
Prabawanto,
S. “Pembelajaran Matematika dengan
Pendekatan Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Disposisi Matematik Siswa”. Makalah Disampaikan
dalam Acara Workshop Nasional PMRI untuk Dosen S1 Matematika PGSD di Hotel
Cipaku Indah Bandung 27–30 Oktober 2009.
Reys, R.
E., et al. Helping Children Learn Mathematics. London. Allyn and
Bacon. 1998.
Riedesel,
C. A. Teaching Elementary School
Mathematics. Englewood Cliffs: Prentice Hall. 1985.
Santrock,
J.W. Life-Span Development: Perkembangan
Masa Hidup. Jakarta: Erlangga. 1995
Stoyanova, E
and. Ellerton, N. F.. A Framework for
Research into Students' Problem Posing in School Mathematics. Edith Cowan
University. 2005.
Suherman,
E. et al. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: Jica. 2003.
Munandar, Utami.
Mengembangkan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:
PT Gramedia. 1985.
Xiaogang Xia., Chuanhan Lü., & Bingyi Wang.. Research on Mathematics Instruction
Experiment Based Problem Posing. Journal of Mathematics Education
December 2008, Vol. 1, No. 1, pp.153-163. 2008
Yunengsih, Yuyun., I Made, A. A.
W., Astrid. C. Ujian Nasional: Dapatkah
menjadi Tolak Ukur Standar Nasional Pendidikan?. Jakarta: Putera Sampoerna
Foundation. 2008