ANALISIS
KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN MANGGARAI
Marselina
Lorensia
Sabina
Ndiung
ABSTRAK
Pembelajaran
yang dilakukan selalu bermuara pada tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.. Tujuan pembelajaran matematika untuk siswa sekolah dasar salah
satunya adalah terbentuknya kemampuan memecahkan masalah. Dalam hidup siswa
akan dihadapkan pada masalah. Matematika akan membekali siswa dengan kemampuan
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Namun dalam kenyataan kemampuan memecahkan masalah belum terpenuhi dalam
pembelajaran matematika sebagai salah satu tujuan pembelajaran matematika
khususnya di SD di kabupaten Manggarai. Oleh karena itu tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan gambaran kemampuan memecahkan masalah siswa SD Di
Manggarai an menyelidiki aspek memecahkan masalah yang perlu mendapat
perhatian..
Penelitian ini
adalah penelitian deskriptif yang akan dilaksanakan di SD di Kabupaten
Manggarai pada bulan April 2014, subyek yang akan diteliti di ambil adalah 39
siswa dari 13 SD di Manggarai.instrumen yang digunakan adalah soal tes, lembar
penilaian kemampuan memecahkan masalah, dan pedoman wawancara.
Hasil penelitian
menunukan bahwa dari 39 siswa yang dijadikan subyek penelitian, tidak memberikan
jawaban yang sempurna terhadap soal kemampuan pemecahan masalah. Tidak semua
tahapan memecahkan masalah. dilakukan oleh siswa. semua aspek pemecahan masalah
yakni memahami masalah, merencanakan solusi, melaksanakan rencana penyelesaian,
dan memeriksa kembali. Bahkan untuk aspek memecahkan tahapan memeriksa kembali
tidak dilakukan oleh semua siswa. berdasarkan asil penelitian dapat disimpulkan
bawa kemampuan memecahkan masalah siswa SD di kabupaten Manggarai rendah dan
semua aspek memecahkan masalah alam kategori cukup dan sangat rendah bahkan aspek yang tidak dilakukan oleh siswa adalah
aspek memeriksa kembali.
Kata
kunci:Matematika, kemampuan, memecahkan masalah,
A. PENDAHULUAN
Matematika
merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai manfaat bagi kehidupan
seseorang. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologipun tidak terlepas dari
peran matematika (Muijs & Reynolds, 2005: 212). Hal ini juga ditegaskan
oleh NCTM (Van de Walle, 2008: 1) bahwa orang yang mampu memahami matematika
akan mempunyai kesempatan dan pilihan yang banyak untuk masa depan yang lebih
produktif.
Melihat besarnya
manfaat matematika maka pemerintah mencantum matematika dalam kurikulum sebagai
mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa sejak dia mulai sekolah.
Menurut Polya (1973: 5), pekerjaan guru yang penting dalam pembelajaran
matematika adalah membangun kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Senada
dengan itu menurut NCTM ( Reys, et al, 1998: 13), komponen esensial yang pertama dalam pembelajaran
matematika adalah memecahkan masalah. Kemampuan memecahkan masalah perlu
dibangun karena setiap orang selalu menghadapi masalah baik itu masalah yang
kecil maupun masalah yang besar, baik yang datang dari dalam dirinya maupun
dari orang lain. Masalah yang dihadapi individu tersebut tentunya membutuhkan
solusi pemecahan. Demikian pula dengan siswa yang juga selalu berhadapan dengan masalah baik
yang berhubungan dengan pembelajaran maupun aspek hidup lainnya.
Pemecahan masalah berhubungan dengan persoalan-persoalan
yang belum dikenal atau belum diketahui jawaban atau prosedur pemecahannya
sehingga membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. McIntosh
& Jarret (2000: 6) menyatakan “The thinking and skills required for
mathematical problem solving transfer to other areas of life”. Kemampuan
berpikir dan keterampilan dibutuhkan untuk mentransferkan pemecahan masalah
matematika dalam kehidupan lain. Itu berarti untuk memecahkan masalah
dibutuhkan kemampuan berpikir.
Menurut
Ruseffendi (1992: 64), matematika diajarkan di sekolah karena matematika
berguna untuk memecahkan persoalan sehari-hari dan persoalan lainnya. Hal
tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh NCTM
(2000: 52) yang menyatakan bahwa “problem
solving is an integral part of all mathematics learning”. Ini berarti bahwa
fokus dari pembelajaran matematika di sekolah adalah terbentuknya kemampuan
siswa untuk memecahkan masalah karena kemampuan tersebut merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran matematika. Kemampuan memecahkan
masalah yang diperoleh siswa dalam matematika merupakan kemampuan yang akan
digunakan dalam memecahkan masalah-masalah keseharian siswa dan merupakan
sarana mempelajari ide matematika dan membentuk kemampuan matematis
lainnya. Problem
solving is at the heart of mathematics (Adams & Haman, 2010: 30)
Dalam
kenyataannya, harapan yang diuraikan di atas belum bisa terwujud dalam
pembelajaran matematika. Menurut Van De
Walle (2008: 12-13), secara umum pembelajaran matematika masih menggunakan
pengajaran tradisional yang dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori.
Paradigma lama yaitu paradigma mengajar, masih melekat dan tetap dipertahankan
karena kebiasaan yang susah diubah. Paradigma tersebut belum berubah menjadi
paradigma membelajarkan siswa. Dalam paradigma tersebut, kegiatan pembelajaran
biasanya dimulai dengan memberikan penjelasan tentang ide-ide yang ada dalam
buku yang dipelajari, lalu diikuti dengan memberikan latihan soal dari buku dan
cara menyelesaikan soal tersebut. Proses pembelajaran lebih diarahkan pada
pemberian tuntunan bagi siswa agar bisa menyelesaikan latihan soal yang
diberikan sesuai dengan prosedur yang telah diajarkan. Hal tersebut diperparah
oleh pandangan siswa secara umum tentang susahnya belajar matematika sehingga
siswa berpandangan bahwa guru adalah orang yang paling pintar dalam matematika
sehingga ketika menyelesaikan soal, siswa mengikuti pola atau aturan yang
diajarkan guru dan guru adalah penentu kebenaran dari soal yang dikerjakan.
Demikian pula
dengan pembelajaran matematika yang berlangsung di Indonesia. Berdasarkan hasil
kajian Yunengsih, et al (2008: 2) rendahnya
penguasaan matematika tercermin dalam rendahnya prestasi siswa Indonesia baik
di tingkat internasional maupun di tingkat nasional. Rendahnya kualitas
pembelajaran matematika adalah sebagai akibat kurangnya penekanan pembelajaran
matematika pada aspek pemecahan masalah. Pembelajaran hanya mengejar penguasaan
materi pelajaran oleh siswa (Yunengsih, et
al 2008: 25).
Pembelajaran
matematika belum menyentuh aspek kompetensi disebabkan oleh kurangnya
kreativitas guru matematika dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Prabawanto (2009: 1) mengatakan bahwa
banyak guru matematika menyandarkan pemilihan bahan ajar hanya dari buku
teks yang telah dipaket secara rapi dan baku. Materi yang diajarkan berasal dari
buku sehingga tidak menyentuh masalah yang ada dalam kehidupan siswa. Dalam
keadaan seperti ini, alternatif penafsiran terhadap masalah-masalah yang ada di
sekitar siswa serta solusi pemecahannya tidak diperhatikan sebagaimana
mestinya. Praktik pembelajaran yang kurang memperhatikan masalah-masalah
sekitar siswa ini tampaknya tidak akan efektif untuk membekali siswa dengan
kemampuan pemecahan masalah yang kompleks yang ada dalam kehidupan nyata di
luar kelas. Di samping itu, masih banyak guru yang beranggapan bahwa tugas
utama mengajar pembelajaran matematika adalah kegiatan memperkenalkan kepada
siswa konsep-konsep dan algoritma-algoritma untuk menyelesaikan soal-soal
matematika. Dalam lingkungan belajar seperti ini, upaya siswa untuk membentuk
dan menyusun cara-cara baru menyelesaikan masalah matematika kurang memperoleh
perhatian dibanding dengan kemampuan mereproduksi jawaban berdasarkan atas
algoritma standar yang pernah disampaikan guru. Keadaan seperti ini tampaknya
kurang memberi peluang kepada siswa untuk mengeksplorasi pemahaman baru
terhadap masalah-masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata yang
ada di sekitar siswa.
Berdasarkan
hasil pengamatan sebagai studi pendahuluan, penulis dapat mengatakan bahwa
kondisi pembelajaran yang diceritakan di atas juga terjadi di SD-SD di
Manggarai. Kurangnya pengalaman dalam pendidikan dari guru matematika diduga
penulis menyebabkan guru masih menggunakan paradigma lama, dimana pembelajaran
merupakan kegiatan penyampaian informasi. Strategi pembelajaran yang digunakan lebih
menekankan pada aspek mengingat atau menghafal pelajaran, sehingga
terkadang kurang atau bahkan tidak menekankan pentingnya penalaran, pemecahan
masalah, komunikasi, ataupun pemahaman seperti yang dituntut dalam kurikulum.
Matematika disajikan sebagai ilmu abstrak yang berisi kumpulan rumus dan contoh
yang harus dikerjakan dan dihafalkan oleh siswa hal tersebut menyebabkan kemampuan
memecahkan masalah tidaklah menjadi kemampuan matematis yang penting dalam
pembelajaran.
B. TUJUAN
Tujuan
dilaksanakan penelitian ini adalah Mendeskripsikan gambaran kemampuan pemecahan
masalah siswa SD di kabupaten Manggarai dan menyelidiki aspek kemampuan
memecahkan masalah yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika
SD di Kabupeten Manggarai.
C. METODE
Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan
kemampuan memecahkan masalah Siswa SD di kabupaten Manggarai tahun pelajaran
2013/2014. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD
yang dipilih dari 39 siswa yang tersebar dalam 13 SD yang ada di 6 kecamatan di
kabupaten Manggarai yang mewakili setiap kategori kemampuan memecahkan masalah.
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian adalah soal tes kemampuan pemecahan masalah dan
lembar penilaian kemampuan pemecahan. Soal tes pemecahan masalah diberikan pada siswa kelas V pada
akhir semester. Soal tes ini terdiri dari tiga soal pemecahan masalah yang diambil dari soal-soal ujian
sekolah tingkat SD di Kabupaten Manggarai. Lembar penilaian kemampuan pemecahan
masalah digunakan untuk menganalisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Lembar penilaian
kemampuan pemecahan masalah ini dibuat oleh peneliti yang mengacu pada empat
langkah pemecahan masalah Polya. Adapun lembar penilaian kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang dibuat dapat dilihat pada lampiran 3.Untuk
melengkapi data maka instrumen penelitian dilengkapi dengan pedoman wawancara
terhadap guru dan siswa
yang digunakan sebagai panduan wawancara untuk menggali tentang pembelajaran
untuk kompetensi dasar yang berhubungan dengan masalah. Wawancara dilakukan
pada guru matematika SD di Manggarai dan siswa yang mengikuti tes yang terpilih
untuk dianalisis khusus jawaban yang diberikan terhadap soal. Instrumen
tersebut di divalidasi oleh dosen matematika yaitu Kristianus Viktor Pantaleon,
M.Pd.Si dan Valeria Suryani Kurnila, M.Pd.Si.
Setelah tes selesai dilakukan, hasil jawaban tertulis
siswa terhadap soal pemecahan masalah dianalisis berdasarkan lembar penilaian
kemampuan pemecahan masalah. Dari hasil tersebut akan dikategorikan kemampuan
pemecahan masalah siswa dengan ketentuan skor. Pengkategorian siswa dibagi
menjadi lima kategori untuk skor total yang diperoleh berdasarkan
pengkategorian menggunakan kriteria Azwar.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk
mengetahui kesulitan apa yang dialami guru dalam melaksanakan pembelajaran
matematika maka dilakukan wawancara terhadap para guru. Dari hasil wawancara
diketahui bahwa pembelajaran yang dilaksanakan selama ini belum sepenuhnya
sesuai dengan harapan pemerintah. Tidak semua tujuan pembelajaran matematika
yang tertuang dalam undang-undang bisa dipenuhi. Salah satu kemampuan yang
dianggap sulit dan susah untuk dikembangkan dalam pembelajaran matematika
adalah kemampuan memecahkan masalah. Kemampuan pemecahan masalah tidak
dikembangkan karena kurangnya pengetahuan tentang pemecahan masalah. Bagi
sebagian besar guru untuk mengajarkan
kompetensi dasar yang berhubungan masalah, masalah yang disajikan
dalam bentuk soal cerita yang diambil dari buku pelajaran.
Oleh karena itu, soal atau masalah yang diberikan menjadi
asing bagi siswa sehingga tampak bahwa matematika abstrak dan tidak berhubungan
dengan kehidupan dan pengalamannya.
Untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dipilih 39 siswa kelas V
dari 13 SD di kabupaten Manggarai. Dari hasil kerja
siswa diketahui bahwa tidak semua siswa menyelesaikan 3 soal yang diberikan dimana
ada siswa yang tidak menyelesaikan soal tertentu baik soal nomor 1, 2 maupun 3.
Dilihat dari hasil kerja
tiap nomor, tidak ada siswa yang menyelesaikan soal dengan sempurna. Dari hasil
kerja
siswa diketahui bahwa untuk soal nomor 1 terdapat 15 siswa yang tidak melakukan
tahapan memahami masalah, 32 siswa yang tidak melakukan tahapan merencanakan
penyelesaian, 31 siswa yang tidak melakukan tahapan melaksanakan rencana
penyelesaian, dan untuk aspek memeriksa kembali tidak ada siswa yang melakukan
tahapan ini. Untuk soal nomor 2, terdapat 6 siswa yang tidak melakukan tahapan
memahami masalah, 33 siswa yang tidak melakukan tahapan merencanakan
penyelesaian, 12 siswa yang melakukan tahapan melaksanakan rencana
penyelesaian, dan tidak ada siswa yang melakukan tahapan memeriksa kembali.
Untuk soal nomor 3 terdapat 17 siswa tidak melakukan tahapan memahami masalah,
11 orang melakukan tahapan melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan tidak
ada siswa yang melakukan aspek merencanakan penyelesaian dan memeriksa kembali.
Berdasarkan jawaban siswa juga diketahui bahwa dari jawaban yang diberikan,
tidak semua siswa melakukan setiap tahapan memecahkan masalah dengan benar.
Sebagian besar jawaban yang diberikan masih keliru atau belum sempurna.
Untuk
mendapat gambaran tentang kategori kemampuan pemecahan masalah siswa maka
berdasarkan hasil kerja
siswa untuk setiap aspek kemudian siswa dikelompokkan berdasarkan total skor
perolehannya. Berikut adalah rangkuman hasil tes kemampuan memecahkan masalah
berdasarkan kategori skor total perolehan.
Tabel
Rangkuman Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
|
No
|
Rentang Skor
|
Kategori
|
Jumlah Siswa
|
persentase
|
|
1
|
X>27
|
Sangat tinggi
|
0
|
0 %
|
|
2
|
21<X
|
Tinggi
|
1
|
2,6 %
|
|
3
|
15<X
|
Cukup
|
2
|
5,1 %
|
|
4
|
9<X
|
Rendah
|
16
|
41 %
|
|
5
|
X
|
Sangat rendah
|
20
|
51,3 %
|
Berdasarkan
tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar siswa kemampuan memecahkan
masalahnya berada pada kategori rendah dan sangat rendah. Hanya 1 orang siswa
yang berkategori tinggi dan 2 orang siswa saja yang berkategori cukup dan tidak
ada siswa yang kemampuan memecahkan masalahnya untuk kategori sangat tinggi.
Untuk mengetahui gambaran setiap aspek memecahkan masalah maka disajikan hasil
tes untuk setiap aspek memecahkan masalah. Hasil Sajiannya dapat dilihat pada
lampiran 8.
Untuk
memperoleh gambaran yang jelas untuk setiap aspek untuk ketiga soal yang
diselesaikan siswa dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel
rekapitulasi kemampuan memecahkan
masalah tiap tahapan
|
No
|
Kategori
|
Tahapan
|
|||
|
A
|
B
|
C
|
D
|
||
|
1
|
Sangat
Tinggi
|
11 (28%)
|
0
|
6
(15%)
|
0
|
|
2
|
Tinggi
|
6
(15%)
|
2 (5%)
|
5
(13%)
|
0
|
|
3
|
Cukup
|
10 (26%)
|
0
|
15 (38%)
|
0
|
|
4
|
Rendah
|
1
(3%)
|
6 (15%)
|
5
(13%)
|
0
|
|
5
|
Sangat
rendah
|
11 (28%)
|
31 (80%)
|
8
(21%)
|
0
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa untuk tahapan memahami masalah dominan siswa
berada pada aspek sangat tinggi dan sangat rendah. Untuk tahapan merencanakan
penyelesaian dominan siswa berada pada kategori sangat rendah. Untuk tahapan
melaksanakan rencana penyelesaian dominan siswa berada pada kategori cukup.
Tahapan yang tidak dilakukan sama sekali untuk semua soal yang dites adalah
tahapan memeriksa kembali. Jika dilihat dari nilai rata-rata maka tahapan
memahami masalah dan melaksanakan rencana berada pada kategori Cukup dan
tahapan merencanakan solusi serta memeriksa kembali pada kategori sangat
rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk semua tahapan memecahkan masalah belum
menunjukan kategori yang baik sehingga harus diperhatikan dalam pembelajaran.
Berdasarkan
pengkategorian di atas maka dari setiap kategori tersebut dipilih satu orang sebagai
perwakilan siswa yang pekerjaannya akan dianalisis. Jadi 4 orang siswa yang
mewakili keempat kategori kemampuan memecahkan masalah yakni untuk kategori
kemampuan tinggi, cukup, sedang dan rendah. Siswa yang terpilih adalah MEYS,
MSM, AF, dan ACG. Dari hasil jawaban tertulis keempat siswa akan didapatkan gambaran tentang
kemampuan pemecahan masalah siswa. Berikut ini diberikan contoh hasil
pengerjaan keempat orang siswa tersebut.
Dari
keempat hasil kerja siswa yang ditampilkan di atas,
dapat dilihat bahwa dalam penyelesaiannya, MEYS menuliskan apa yang diketahui
dan ditanyakan dari soal, menentukan rencana yang akan dilakukan serta
menuliskan langkah untuk memecahkan masalah berdasarkan strategi sehingga
menemukan jawaban dengan benar. MSM menuliskan apa yang diketahui dan di
tanya namun melakukan tahapan ketiga yakni melaksanakan rencana penyelesaian
namun sebelumnya tidak dilakukan tahapan merencanakan penyelesaian. Sedangkan
AF menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan dari soal tapi tidak menuliskan
rencana yang akan dilakukan tetapi langsung memberikan jawaban dengan proses penyelesaian
yang salah. Untuk siswa yang ketiga yakni ACG tidak menulis yang diketahui, ditanya
dan rencana penyelesaian tetapi langsung menuliskan jawabannya. Dari hasil
jawaban tertulis ketiga subyek di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa pertama
dapat melakukan tiga langkah pemecahan masalah dengan tepat dan benar yakni
memahami masalah, merencanakan dan melaksanakan rencana. Sedangkan siswa kedua
hanya melakukan tahap memahami masalah saja, dan siswa ketiga siswa melakukan
tahap melaksanakan rencana namun penyelesaian salah karena. Untuk semua siswa
tidak melakukan tahapan yang keempat yakni memeriksa kembali.
Dari
perolehan hasil tersebut bisa dikatakan bahwa keempat siswa di atas belum melaksanakan tahapan pemecahan masalah yang
diberikan dengan baik. Ketika soal diselesaikan tanpa melalui tahapan memahami
masalah dan merencanakan solusi maka hasil kerja
siswa tidak sempurna. Ketika kedua tahapan awal memahami masalah dilakukan
dengan benar maka tahapan melaksanakan rencana penyelesaian dapat dilakukan
dengan baik sehingga siswa menemukan jawaban dari masalah yang diselesaikan.
Dari keempat siswa untuk ketiga soal, tahapan melihat kembali tidak
dilaksanakan oleh siswa.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa, jawaban
yang diberikan siswa di atas kertas sesuai dengan apa yang diajarkan. Jadi
rendahnya kemampuan pemecahan masalah dikarenakan siswa tidak diajarkan bagaimana tahapan untuk
memecahkan soal-soal yang berbentuk masalah. Hal ini diperkuat dengan hasil
wawancara terhadap beberapa guru matematika, dimana guru tidak mengetahui
tahapan-tahapan dalam pemecahan masalah sehingga ketika mengajarkan kompetensi
dasar yang berhubungan dengan masalah, guru mengajarkan siswa untuk mencari
jawaban sesuai dengan prosedur yang ada di buku.
Berdasarkan
uraian hasil penelitian di atas, dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan
masalah tidak menjadi penting dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar di
kabupaten Manggarai. Hasil kerja siswa menunjukan bahwa siswa belum mengetahui
tahapan-tahapan memecahkan masalah. Berdasarkan analisis terhadap hasil kerja
39 siswa umumnya dan khususnya ketiga siswa yang dipilih semua siswa tidak
melakukan tahapan melihat kembali. Berdasarkan hasil kerja keempat siswa hanya
1 siswa yakni MEYS saja yang dapat melakukan tiga tahapan pemecahan masalah
dengan benar, sedangkan ketiga siswa yakni MSM, AF, dan ACG tidak semua tahapan
dilaksanakan. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa ketika siswa tidak
mampu melakukan tahapan awal dalam memecahkan masalah maka siswa tidak akan
menemukan jawaban dari masalah. Sesuai dengan tahapan yang dikemukakan Polya
dan Santrock bahwa untuk memecahkan masalah siswa harus melalui tahapan-tahapan
pemecahan masalah yakni memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil
penyelesaian masalah matematika. Jika tahapan-tahapan ini
tidak dilakukan maka siswa akan kesulitan menemukan solusi dari suatu masalah
sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah siswa rendah.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan memecahkan masalah siswa SD di
kabupaten Manggarai rendah sehingga
dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan selama ini tidak
sesuai dengan harapan pemerintah. Rendahnya kemampuan memecahkan masalah siswa
menunjukan
bahwa siswa tidak mempunyai kemampuan berpikir. Karena berdasarkan pendapat
Pimta et al, siswa yang memiliki
kemampuan berpikir akan mempunyai kemampuan memecahkan masalah. Melalui masalah
yang diberikan siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menemukan konsep
yang sesuai dengan masalah yang diberikan lalu mengolah pikirnya untuk menggunakan
konsep tersebut mencari jawaban dari masalah. Hal tersebut seperti yang telah
diuraikan oleh NCTM (2000: 52) bahwa dengan adanya kemampuan
memecahkan masalah dalam matematika, maka siswa akan mendapatkan cara berpikir,
ketekunan, keingintahuan, dan rasa percaya diri dalam situasi yang lain di luar
kelas matematika. Jadi jelaslah bahwa kemampuan pemecahan
masalah haruslah dibentuk melalui pembelajaran matematika khususnya di SD-SD di
kabupaten Manggarai.
Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah siswa SD
di kabupaten Manggarai tergolong rendah. Aspek memecahkan masalah yang tidak
dilakukan sehingga perlu diperhatikan dalam pembelajaran matematika SD-SD di
Manggarai karena tidak dilakukan sama
sekali dalam pembelajaran tentang masalah adalah aspek memeriksa kembali. Aspek
merencanakan penyelesaiannya kategori sangat rendah sedangkan aspek memahami
dan melaksanakan rencana penyelesaian juga
hanya berada pada kategori cukup.
Jadi keempat aspek memecahkan masalah
masih perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika SD di Kabupaten
Manggarai.
E. DAFTAR
PUSTAKA
Adams, D., & Hamm, M. (2010). Demystify math, science, and technology: Creativity, innovation, and
problem solving. Plymouth: Rowman & Littlefield Education.
McIntosh, R.
& Jarret, D. (2000). Teaching mathematical problem solving: Implementing
the vision. New York: NWREL, Mathematics and Science Education Center.
NCTM. (2000). Principles and standars for school mathematics. Reston, VA: NCTM.
Polya, G. (1973). How to solve it: A new aspect of mathematical method. New Jersey:
Princeton University Press.
Prabawanto,
S. (2009). Pembelajaran matematika
dengan pendekatan realistik untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan
disposisi matematik siswa. Makalah Disampaikan
dalam Acara Workshop Nasional PMRI untuk Dosen S1 Matematika PGSD di Hotel
Cipaku Indah Bandung 27–30 Oktober 2009
Reys, R.
E., Suydam, M. N., Lindquist, M. M. et at. (1998). Helping children learn
mathematics. London. Allyn and Bacon.
Van
De Walle, J. A. (2008). Sekolah Dasar dan Menengah: Matematika Pengembangan
Pengajaran(6th ed.). (Terjemahan Suyono). New Jersey: Pearson
Educational, Inc. (Buku asli diterbitkan tahun 2007).
Yuyun, Y., I Made, A. A. W., Astrid. C. (2008). Ujian nasional: dapatkah menjadi tolak ukur standar nasional
pendidikan?. Jakarta: Putera Sampoerna Foundation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar