Senin, 23 Mei 2016

artikel


ANALISIS KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SEKOLAH DASAR  DI KABUPATEN MANGGARAI

Marselina Lorensia
Sabina Ndiung

ABSTRAK
Pembelajaran yang dilakukan selalu bermuara pada tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.. Tujuan pembelajaran matematika untuk siswa sekolah dasar salah satunya adalah terbentuknya kemampuan memecahkan masalah. Dalam hidup siswa akan dihadapkan pada masalah. Matematika akan membekali siswa dengan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Namun dalam kenyataan kemampuan  memecahkan masalah belum terpenuhi dalam pembelajaran matematika sebagai salah satu tujuan pembelajaran matematika khususnya di SD di kabupaten Manggarai. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gambaran kemampuan memecahkan masalah siswa SD Di Manggarai an menyelidiki aspek memecahkan masalah yang perlu mendapat perhatian..
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang akan dilaksanakan di SD di Kabupaten Manggarai pada bulan April 2014, subyek yang akan diteliti di ambil adalah 39 siswa dari 13 SD di Manggarai.instrumen yang digunakan adalah soal tes, lembar penilaian kemampuan memecahkan masalah, dan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunukan bahwa  dari 39 siswa yang  dijadikan subyek penelitian, tidak memberikan jawaban yang sempurna terhadap soal kemampuan pemecahan masalah. Tidak semua tahapan memecahkan masalah. dilakukan oleh siswa. semua aspek pemecahan masalah yakni memahami masalah, merencanakan solusi, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali. Bahkan untuk aspek memecahkan tahapan memeriksa kembali tidak dilakukan oleh semua siswa. berdasarkan asil penelitian dapat disimpulkan bawa kemampuan memecahkan masalah siswa SD di kabupaten Manggarai rendah dan semua aspek memecahkan masalah alam kategori cukup dan sangat rendah bahkan  aspek yang tidak dilakukan oleh siswa adalah aspek memeriksa kembali.

Kata kunci:Matematika,  kemampuan,  memecahkan masalah,

A.  PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai manfaat bagi kehidupan seseorang. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologipun tidak terlepas dari peran matematika (Muijs & Reynolds, 2005: 212). Hal ini juga ditegaskan oleh NCTM (Van de Walle, 2008: 1) bahwa orang yang mampu memahami matematika akan mempunyai kesempatan dan pilihan yang banyak untuk masa depan yang lebih produktif.
Melihat besarnya manfaat matematika maka pemerintah mencantum matematika dalam kurikulum sebagai mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa sejak dia mulai sekolah. Menurut Polya (1973: 5), pekerjaan guru yang penting dalam pembelajaran matematika adalah membangun kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Senada dengan itu menurut NCTM ( Reys, et al, 1998: 13), komponen esensial yang pertama dalam pembelajaran matematika adalah memecahkan masalah. Kemampuan memecahkan masalah perlu dibangun karena setiap orang selalu menghadapi masalah baik itu masalah yang kecil maupun masalah yang besar, baik yang datang dari dalam dirinya maupun dari orang lain. Masalah yang dihadapi individu tersebut tentunya membutuhkan solusi pemecahan. Demikian pula dengan siswa yang  juga selalu berhadapan dengan masalah baik yang berhubungan dengan pembelajaran maupun aspek hidup lainnya.
Pemecahan masalah berhubungan dengan persoalan-persoalan yang belum dikenal atau belum diketahui jawaban atau prosedur pemecahannya sehingga membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. McIntosh & Jarret (2000: 6) menyatakan “The thinking and skills required for mathematical problem solving transfer to other areas of life”. Kemampuan berpikir dan keterampilan dibutuhkan untuk mentransferkan pemecahan masalah matematika dalam kehidupan lain. Itu berarti untuk memecahkan masalah dibutuhkan kemampuan berpikir.
Menurut Ruseffendi (1992: 64), matematika diajarkan di sekolah karena matematika berguna untuk memecahkan persoalan sehari-hari dan persoalan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh NCTM (2000: 52) yang menyatakan bahwa “problem solving is an integral part of all mathematics learning”. Ini berarti bahwa fokus dari pembelajaran matematika di sekolah adalah terbentuknya kemampuan siswa untuk memecahkan masalah karena kemampuan tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran matematika. Kemampuan memecahkan masalah yang diperoleh siswa dalam matematika merupakan kemampuan yang akan digunakan dalam memecahkan masalah-masalah keseharian siswa dan merupakan sarana mempelajari ide matematika dan membentuk kemampuan matematis lainnya.  Problem solving is at the heart of mathematics (Adams & Haman, 2010: 30)
Dalam kenyataannya, harapan yang diuraikan di atas belum bisa terwujud dalam pembelajaran matematika. Menurut  Van De Walle (2008: 12-13), secara umum pembelajaran matematika masih menggunakan pengajaran tradisional yang dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Paradigma lama yaitu paradigma mengajar, masih melekat dan tetap dipertahankan karena kebiasaan yang susah diubah. Paradigma tersebut belum berubah menjadi paradigma membelajarkan siswa. Dalam paradigma tersebut, kegiatan pembelajaran biasanya dimulai dengan memberikan penjelasan tentang ide-ide yang ada dalam buku yang dipelajari, lalu diikuti dengan memberikan latihan soal dari buku dan cara menyelesaikan soal tersebut. Proses pembelajaran lebih diarahkan pada pemberian tuntunan bagi siswa agar bisa menyelesaikan latihan soal yang diberikan sesuai dengan prosedur yang telah diajarkan. Hal tersebut diperparah oleh pandangan siswa secara umum tentang susahnya belajar matematika sehingga siswa berpandangan bahwa guru adalah orang yang paling pintar dalam matematika sehingga ketika menyelesaikan soal, siswa mengikuti pola atau aturan yang diajarkan guru dan guru adalah penentu kebenaran dari soal yang dikerjakan.
Demikian pula dengan pembelajaran matematika yang berlangsung di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian Yunengsih, et al (2008: 2) rendahnya penguasaan matematika tercermin dalam rendahnya prestasi siswa Indonesia baik di tingkat internasional maupun di tingkat nasional. Rendahnya kualitas pembelajaran matematika adalah sebagai akibat kurangnya penekanan pembelajaran matematika pada aspek pemecahan masalah. Pembelajaran hanya mengejar penguasaan materi pelajaran oleh siswa (Yunengsih, et al 2008: 25).
Pembelajaran matematika belum menyentuh aspek kompetensi disebabkan oleh kurangnya kreativitas guru matematika dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Prabawanto (2009: 1) mengatakan bahwa banyak guru matematika menyandarkan pemilihan bahan ajar hanya dari buku teks yang telah dipaket secara rapi dan baku. Materi yang diajarkan berasal dari buku sehingga tidak menyentuh masalah yang ada dalam kehidupan siswa. Dalam keadaan seperti ini, alternatif penafsiran terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar siswa serta solusi pemecahannya tidak diperhatikan sebagaimana mestinya. Praktik pembelajaran yang kurang memperhatikan masalah-masalah sekitar siswa ini tampaknya tidak akan efektif untuk membekali siswa dengan kemampuan pemecahan masalah yang kompleks yang ada dalam kehidupan nyata di luar kelas. Di samping itu, masih banyak guru yang beranggapan bahwa tugas utama mengajar pembelajaran matematika adalah kegiatan memperkenalkan kepada siswa konsep-konsep dan algoritma-algoritma untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Dalam lingkungan belajar seperti ini, upaya siswa untuk membentuk dan menyusun cara-cara baru menyelesaikan masalah matematika kurang memperoleh perhatian dibanding dengan kemampuan mereproduksi jawaban berdasarkan atas algoritma standar yang pernah disampaikan guru. Keadaan seperti ini tampaknya kurang memberi peluang kepada siswa untuk mengeksplorasi pemahaman baru terhadap masalah-masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar siswa.
Berdasarkan hasil pengamatan sebagai studi pendahuluan, penulis dapat mengatakan bahwa kondisi pembelajaran yang diceritakan di atas juga terjadi di SD-SD di Manggarai. Kurangnya pengalaman dalam pendidikan dari guru matematika diduga penulis menyebabkan guru masih menggunakan paradigma lama, dimana pembelajaran merupakan kegiatan penyampaian informasi. Strategi pembelajaran yang digunakan lebih menekankan pada  aspek  mengingat atau menghafal pelajaran, sehingga terkadang kurang atau bahkan tidak menekankan pentingnya penalaran, pemecahan masalah, komunikasi, ataupun pemahaman seperti yang dituntut dalam kurikulum. Matematika disajikan sebagai ilmu abstrak yang berisi kumpulan rumus dan contoh yang harus dikerjakan dan dihafalkan oleh siswa hal tersebut menyebabkan kemampuan memecahkan masalah tidaklah menjadi kemampuan matematis yang penting dalam pembelajaran.
B.  TUJUAN
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah Mendeskripsikan gambaran kemampuan pemecahan masalah siswa SD di kabupaten Manggarai dan menyelidiki aspek kemampuan memecahkan masalah yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika SD di Kabupeten Manggarai.
C.  METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan memecahkan masalah Siswa SD di kabupaten Manggarai tahun pelajaran 2013/2014. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD yang dipilih dari 39 siswa yang tersebar dalam 13 SD yang ada di 6 kecamatan di kabupaten Manggarai yang mewakili setiap kategori kemampuan memecahkan masalah.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah soal tes kemampuan pemecahan masalah dan lembar penilaian kemampuan pemecahan. Soal tes pemecahan masalah diberikan pada siswa kelas V pada akhir semester. Soal tes ini terdiri dari tiga soal pemecahan  masalah yang diambil dari soal-soal ujian sekolah tingkat SD di Kabupaten Manggarai. Lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah digunakan untuk menganalisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.  Lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah ini dibuat oleh peneliti yang mengacu pada empat langkah pemecahan masalah Polya. Adapun lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dibuat dapat dilihat pada lampiran 3.Untuk melengkapi data maka instrumen penelitian dilengkapi dengan pedoman wawancara terhadap guru dan siswa yang digunakan sebagai panduan wawancara untuk menggali tentang pembelajaran untuk kompetensi dasar yang berhubungan dengan masalah. Wawancara dilakukan pada guru matematika SD di Manggarai dan siswa yang mengikuti tes yang terpilih untuk dianalisis khusus jawaban yang diberikan terhadap soal. Instrumen tersebut di divalidasi oleh dosen matematika yaitu Kristianus Viktor Pantaleon, M.Pd.Si dan Valeria Suryani Kurnila, M.Pd.Si.
Setelah tes selesai dilakukan, hasil jawaban tertulis siswa terhadap soal pemecahan masalah dianalisis berdasarkan lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah. Dari hasil tersebut akan dikategorikan kemampuan pemecahan masalah siswa dengan ketentuan skor. Pengkategorian siswa dibagi menjadi lima kategori untuk skor total yang diperoleh berdasarkan pengkategorian menggunakan kriteria Azwar.
D.  HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui kesulitan apa yang dialami guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika maka dilakukan wawancara terhadap para guru. Dari hasil wawancara diketahui bahwa pembelajaran yang dilaksanakan selama ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapan pemerintah. Tidak semua tujuan pembelajaran matematika yang tertuang dalam undang-undang bisa dipenuhi. Salah satu kemampuan yang dianggap sulit dan susah untuk dikembangkan dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan memecahkan masalah. Kemampuan pemecahan masalah tidak dikembangkan karena kurangnya pengetahuan tentang pemecahan masalah. Bagi sebagian besar guru untuk mengajarkan kompetensi dasar yang berhubungan masalah, masalah yang disajikan dalam bentuk soal cerita yang diambil dari buku pelajaran. Oleh karena itu, soal atau masalah yang diberikan menjadi asing bagi siswa sehingga tampak bahwa matematika abstrak dan tidak berhubungan dengan kehidupan dan pengalamannya.
Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dipilih 39 siswa kelas V dari 13 SD di kabupaten Manggarai. Dari hasil kerja siswa diketahui bahwa tidak semua siswa menyelesaikan 3 soal yang diberikan dimana ada siswa yang tidak menyelesaikan soal tertentu baik soal nomor 1, 2 maupun 3. Dilihat dari hasil kerja tiap nomor, tidak ada siswa yang menyelesaikan soal dengan sempurna. Dari hasil kerja siswa diketahui bahwa untuk soal nomor 1 terdapat 15 siswa yang tidak melakukan tahapan memahami masalah, 32 siswa yang tidak melakukan tahapan merencanakan penyelesaian, 31 siswa yang tidak melakukan tahapan melaksanakan rencana penyelesaian, dan untuk aspek memeriksa kembali tidak ada siswa yang melakukan tahapan ini. Untuk soal nomor 2, terdapat 6 siswa yang tidak melakukan tahapan memahami masalah, 33 siswa yang tidak melakukan tahapan merencanakan penyelesaian, 12 siswa yang melakukan tahapan melaksanakan rencana penyelesaian, dan tidak ada siswa yang melakukan tahapan memeriksa kembali. Untuk soal nomor 3 terdapat 17 siswa tidak melakukan tahapan memahami masalah, 11 orang melakukan tahapan melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan tidak ada siswa yang melakukan aspek merencanakan penyelesaian dan memeriksa kembali. Berdasarkan jawaban siswa juga diketahui bahwa dari jawaban yang diberikan, tidak semua siswa melakukan setiap tahapan memecahkan masalah dengan benar. Sebagian besar jawaban yang diberikan masih keliru atau belum sempurna.
Untuk mendapat gambaran tentang kategori kemampuan pemecahan masalah siswa maka berdasarkan hasil kerja siswa untuk setiap aspek kemudian siswa dikelompokkan berdasarkan total skor perolehannya. Berikut adalah rangkuman hasil tes kemampuan memecahkan masalah berdasarkan kategori skor total perolehan.
Tabel Rangkuman Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
No
Rentang Skor
Kategori
Jumlah Siswa
persentase
1
X>27
Sangat tinggi
0
0 %
2
21<X27
Tinggi
1
2,6 %
3
15<X21
Cukup
2
5,1 %
4
9<X15
Rendah
16
41 %
5
X9
Sangat rendah
20
51,3 %

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar siswa kemampuan memecahkan masalahnya berada pada kategori rendah dan sangat rendah. Hanya 1 orang siswa yang berkategori tinggi dan 2 orang siswa saja yang berkategori cukup dan tidak ada siswa yang kemampuan memecahkan masalahnya untuk kategori sangat tinggi. Untuk mengetahui gambaran setiap aspek memecahkan masalah maka disajikan hasil tes untuk setiap aspek memecahkan masalah. Hasil Sajiannya dapat dilihat pada lampiran 8.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas untuk setiap aspek untuk ketiga soal yang diselesaikan siswa dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel  rekapitulasi kemampuan memecahkan masalah tiap tahapan

No

      Kategori
Tahapan
A
B
C
D
1
Sangat Tinggi
11 (28%)
0
6
(15%)
0
2
Tinggi
6
(15%)
2 (5%)
5
(13%)
0
3
Cukup
10 (26%)
0
15 (38%)
0
4
Rendah
1
(3%)
6 (15%)
5
(13%)
0
5
Sangat rendah
11 (28%)
31 (80%)
8
(21%)
0

Dari tabel di atas diketahui bahwa untuk tahapan memahami masalah dominan siswa berada pada aspek sangat tinggi dan sangat rendah. Untuk tahapan merencanakan penyelesaian dominan siswa berada pada kategori sangat rendah. Untuk tahapan melaksanakan rencana penyelesaian dominan siswa berada pada kategori cukup. Tahapan yang tidak dilakukan sama sekali untuk semua soal yang dites adalah tahapan memeriksa kembali. Jika dilihat dari nilai rata-rata maka tahapan memahami masalah dan melaksanakan rencana berada pada kategori Cukup dan tahapan merencanakan solusi serta memeriksa kembali pada kategori sangat rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk semua tahapan memecahkan masalah belum menunjukan kategori yang baik sehingga harus diperhatikan dalam pembelajaran.
Berdasarkan pengkategorian di atas maka dari setiap kategori  tersebut dipilih satu orang sebagai perwakilan siswa yang pekerjaannya akan dianalisis. Jadi 4 orang siswa yang mewakili keempat kategori kemampuan memecahkan masalah yakni untuk kategori kemampuan tinggi, cukup, sedang dan rendah. Siswa yang terpilih adalah MEYS, MSM, AF, dan ACG. Dari hasil jawaban tertulis  keempat siswa akan didapatkan gambaran tentang kemampuan pemecahan masalah siswa. Berikut ini diberikan contoh hasil pengerjaan keempat orang siswa tersebut.
Dari keempat hasil kerja siswa yang ditampilkan di atas, dapat dilihat bahwa dalam penyelesaiannya, MEYS menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan dari soal, menentukan rencana yang akan dilakukan serta menuliskan langkah untuk memecahkan masalah berdasarkan strategi sehingga menemukan jawaban dengan benar. MSM menuliskan apa yang diketahui dan di tanya namun melakukan tahapan ketiga yakni melaksanakan rencana penyelesaian namun sebelumnya tidak dilakukan tahapan merencanakan penyelesaian. Sedangkan AF menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan dari soal tapi tidak menuliskan rencana yang akan dilakukan tetapi langsung memberikan jawaban dengan proses penyelesaian yang salah. Untuk siswa yang ketiga yakni ACG tidak menulis yang diketahui, ditanya dan rencana penyelesaian tetapi langsung menuliskan jawabannya. Dari hasil jawaban tertulis ketiga subyek di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa pertama dapat melakukan tiga langkah pemecahan masalah dengan tepat dan benar yakni memahami masalah, merencanakan dan melaksanakan rencana. Sedangkan siswa kedua hanya melakukan tahap memahami masalah saja, dan siswa ketiga siswa melakukan tahap melaksanakan rencana namun penyelesaian salah karena. Untuk semua siswa tidak melakukan tahapan yang keempat yakni memeriksa kembali.
Dari perolehan hasil tersebut bisa dikatakan bahwa keempat  siswa di atas belum  melaksanakan tahapan pemecahan masalah yang diberikan dengan baik. Ketika soal diselesaikan tanpa melalui tahapan memahami masalah dan merencanakan solusi maka hasil kerja siswa tidak sempurna. Ketika kedua tahapan awal memahami masalah dilakukan dengan benar maka tahapan melaksanakan rencana penyelesaian dapat dilakukan dengan baik sehingga siswa menemukan jawaban dari masalah yang diselesaikan. Dari keempat siswa untuk ketiga soal, tahapan melihat kembali tidak dilaksanakan oleh siswa. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa, jawaban yang diberikan siswa di atas kertas sesuai dengan apa yang diajarkan. Jadi rendahnya kemampuan pemecahan masalah dikarenakan siswa tidak diajarkan bagaimana tahapan untuk memecahkan soal-soal yang berbentuk masalah. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap beberapa guru matematika, dimana guru tidak mengetahui tahapan-tahapan dalam pemecahan masalah sehingga ketika mengajarkan kompetensi dasar yang berhubungan dengan masalah, guru mengajarkan siswa untuk mencari jawaban sesuai dengan prosedur yang ada di buku.
Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah tidak menjadi penting dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar di kabupaten Manggarai. Hasil kerja siswa menunjukan bahwa siswa belum mengetahui tahapan-tahapan memecahkan masalah. Berdasarkan analisis terhadap hasil kerja 39 siswa umumnya dan khususnya ketiga siswa yang dipilih semua siswa tidak melakukan tahapan melihat kembali. Berdasarkan hasil kerja keempat siswa hanya 1 siswa yakni MEYS saja yang dapat melakukan tiga tahapan pemecahan masalah dengan benar, sedangkan ketiga siswa yakni MSM, AF, dan ACG tidak semua tahapan dilaksanakan. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa ketika siswa tidak mampu melakukan tahapan awal dalam memecahkan masalah maka siswa tidak akan menemukan jawaban dari masalah. Sesuai dengan tahapan yang dikemukakan Polya dan Santrock bahwa untuk memecahkan masalah siswa harus melalui tahapan-tahapan pemecahan masalah yakni memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil penyelesaian masalah matematika. Jika tahapan-tahapan ini tidak dilakukan maka siswa akan kesulitan menemukan solusi dari suatu masalah sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah siswa rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan memecahkan masalah siswa SD di kabupaten Manggarai  rendah sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan selama ini tidak sesuai dengan harapan pemerintah. Rendahnya kemampuan memecahkan masalah siswa menunjukan bahwa siswa tidak mempunyai kemampuan berpikir. Karena berdasarkan pendapat Pimta et al, siswa yang memiliki kemampuan berpikir akan mempunyai kemampuan memecahkan masalah. Melalui masalah yang diberikan siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menemukan konsep yang sesuai dengan masalah yang diberikan lalu mengolah pikirnya untuk menggunakan konsep tersebut mencari jawaban dari masalah. Hal tersebut seperti yang telah diuraikan oleh NCTM (2000: 52) bahwa dengan adanya kemampuan memecahkan masalah dalam matematika, maka siswa akan mendapatkan cara berpikir, ketekunan, keingintahuan, dan rasa percaya diri dalam situasi yang lain di luar kelas matematika. Jadi jelaslah bahwa kemampuan pemecahan masalah haruslah dibentuk melalui pembelajaran matematika khususnya di SD-SD di kabupaten Manggarai.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah siswa SD di kabupaten Manggarai tergolong rendah. Aspek memecahkan masalah yang tidak dilakukan sehingga perlu diperhatikan dalam pembelajaran matematika SD-SD di Manggarai  karena tidak dilakukan sama sekali dalam pembelajaran tentang masalah adalah aspek memeriksa kembali. Aspek merencanakan penyelesaiannya kategori sangat rendah sedangkan aspek memahami dan melaksanakan rencana penyelesaian juga hanya berada pada kategori cukup. Jadi keempat aspek memecahkan masalah masih perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika SD di Kabupaten Manggarai.
E.   DAFTAR PUSTAKA
Adams, D., & Hamm, M. (2010). Demystify math, science, and technology: Creativity, innovation, and problem solving. Plymouth: Rowman & Littlefield Education.
McIntosh, R. & Jarret, D. (2000). Teaching mathematical problem solving: Implementing the vision. New York: NWREL, Mathematics and Science Education Center.
NCTM. (2000). Principles and standars for school mathematics. Reston, VA: NCTM.

Polya, G. (1973). How to solve it: A new aspect of mathematical method. New Jersey: Princeton University Press.
Prabawanto, S. (2009). Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematik siswa. Makalah  Disampaikan dalam Acara Workshop Nasional PMRI untuk Dosen S1 Matematika PGSD di Hotel Cipaku Indah Bandung 27–30 Oktober 2009

Reys, R. E., Suydam, M. N., Lindquist, M. M. et at. (1998). Helping children learn mathematics. London. Allyn and Bacon.

Van De Walle, J. A. (2008). Sekolah Dasar dan Menengah: Matematika Pengembangan Pengajaran(6th ed.). (Terjemahan Suyono). New Jersey: Pearson Educational, Inc. (Buku asli diterbitkan tahun 2007).

Yuyun, Y., I Made, A. A. W., Astrid. C. (2008). Ujian nasional: dapatkah menjadi tolak ukur standar nasional pendidikan?. Jakarta: Putera Sampoerna Foundation.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar