Minggu, 23 Januari 2011

UPAYAKU MEMBANGUN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA


UPAYAKU MEMBANGUN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA




 








OLEH
MARSELINA LORENSIA, S,PD
NIM 10709251015


Makalah Ini Dibuat Dalam Rangka Melengkapi Tugas-tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Dr. Marsigit M.A., Tahun 2010/2011
Program Studi Pendidikan Matematika


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Aku ada karena aku berpikir dan yang aku pikirkan adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan membawa aku menuju suatu perubahan. Disadari atau tidak, setiap manusia selalu berfilsafat. Karena manusia yang normal selalu bertanya dan mencari jawaban tentang segala sesuatu yaitu tentang Tuhan, dunia, dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Filsafat bertolak dari keinginan mendasar ini. Manusia selalu mempertanyakan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal budi yang memungkinkan  dia untuk berpikir. Jadi Manusia pada hakekatnya adalah filsuf karena manusia sebagai makhluk berakal budi sehingga dia terdorong untuk bertanya dan mencari jawaban tentang semua yang ada dan mungkin ada. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan bukanlah hanya dari orang-orang terpelajar saja, tetapi dari semua orang khususnya orang yang sedang berpikir.
Pertanyaan mendasar tentang diri kita adalah: siapakah aku ini? Bagaimana aku bisa hidup? Mengapa aku hidup? Apa manfaat hidup bagiku? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan penting dan mendasar bagi kita. Adanya pertanyaan mendasar tersebut menunjukkan bahwa kita berfilfasat. Pertanyaan tersebut dalam filsafat menjawab unsur-unsur filsafat yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Ketika kita berhadapan atau akan melakukan sesuatu, maka pertanyaan yang terlintas adalah pertanyaan mengenai apa, mengapa, bagaimana dan untuk apa. Misalnya tentang kuliah filsafat pendidikan matematika. Pada awalnya kita semua pasti akan bertanya tentang filsafat pendidikan matematika. Jawaban yang kita berikan tentu saja berbeda. Pada awalnya jawaban kita merupakan hasil analisis kita terhadap kalimat filsafat pendidikan matematika. Setiap orang akan memberikan pendapatnya sesuai dengan pikiran dan pengalamannya. Namun jawaban yang akan kita berikan pada awal perkuliahan tadi tentang filsafat pendidikan matematika akan berbeda dengan jawaban kita pada akhir perkuliahan. Ada perubahan content jawaban yang disebabkan karena kita belajar. Dan kegiatan perkuliahan yang kita lakukan selalu berawal dari pertanyaan-pertanyaan. Selanjutnya jawaban yang kita berikan bukan hanya merupakan pikiran dan pengalaman kita saja tapi sudah merupakan hasil sintesis pengalaman dan pikiran serta pengalaman dan pikiran para filsuf.
Berbicara tentang filsafat pendidikan matematika berarti berbicara tentang unsur yang ada pendidikan. Salah satu unsur yang penting dalam pendidikan adalah guru. Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah para guru matematika menyadari bahwa salah satu hal penting yang harus ia pelajari adalah filsafat pendidikan matematika? Maka jawaban yang diberikan oleh guru adalah sebuah pertanyaan balikan yaitu apa penting filsafat pendidikan matematika itu untuk kami para guru. Jawaban ini menunjukkan bahwa para guru matematika merasa yang paling penting baginya adalah menguasai semua konsep matematika dan mengajarkan matematika pada siswa. Fakta menunjukkan bahwa para guru matematika mengajar matematika sebagai ilmu yang abstrak padahal dalam kehidupan, kita akan selalu berjumpa dengan matematika yaitu masalah-masalahnya, karena itu pendidikan matematika adalah sebuah kegiatan pemecahan masalah. Pemikiran para guru di atas, tercermin dalam bagaimana ia melakukan kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan matematika merupakan proses penyampaian konsep-konsep matematika yang dikuasainya dan peran siswa dalam kegiatan tersebut adalah sebagai pendengar yang manis yang tidak mampu berpikir dan diharapkan mampu menghafal. Siswa adalah kertas kosong yang harus ditulis sebanyak-banyaknya dan jika ditanya apakah nilai atau manfaat yang diperoleh siswa, maka jawabannya adalah penguasaan sejumlah konsep-konsep matematika. Inilah paradigma pendidikan lama yang sampai saat ini belum bisa terganti.
Paradigma pendidikan matematika tersebut yang harus kita ubah. Pertanyaan siapa yang harus berubah dan kapan perubahan itu dimulai? Jawabannya adalah kita dan sekarang. Kita sebagai para guru matematika yang sudah mempelajari tentang filsafat pendidikan matematika harus memandang pendidikan matematika sebagai sesuatu yang lebih kompleks dan harus dipikirkan dan dilakukan. Pikirkan apa yang harus kita pikirkan dan lakukan yang harus kita lakukan dalam hubungan dengan filsafat pendidikan matematika, yang kita pikirkan dan kita lakukan sekarang adalah perubahan. Kita adalah para filsuf yang bertanggung jawab untuk memikirkan dan melakukannya perubahan tanpa melupakan peranan para filsuf matematika terdahulu sebagai landasan berpijak kita. Upaya yang kita lakukan adalah merubah pandangan kita tentang filsafat pendidikan matematika, karena dalam filsafat pendidikan matematika, kita akan mengetahui hakekat semua unsur pendidikan matematika. Dengan mengetahui hakekat tersebut akan memberi pedoman bagaimana kita melakukan pendidikan matematika dan pada akhirnya pendidikan matematika berujung pada nilai yang harus dicapai dari pendidikan matematika tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tinjauan filsafat pendidikan matematika?
2.      Bagaimana upayaku membangun pendidikan matematika?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan filsafat pendidikan matematika dan implikasinya dalam pendidikan matematika.
2.      Mendeskripsikan upayaku membangun filsafat pendidikan matematika.

D.    Ruang Lingkup
1.      Tinjauan filsafat pendidikan matematika.
a.       Tinjauan filsafat pendidikan.
b.      Tinjauan filsafat matematika.
c.       Tinjauan filsafat pendidikan matematika.

2.      Upaya membangun filsafat pendidikan matematika
a.       Pengalamanku dalam hubungan dengan filsafat pendidikan matematika.
b.      Upayaku membangun filsafat pendidikan matematika.



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Filsafat Pendidikan Matematika
1.      Filsafat Pendidikan
Filsafat bisa berperan sebagai ilmu dan bisa juga sebagai sikap hidup. Filsafat adalah ilmu yang menyangkut kegiatan berpikir yang berhubungan dengan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologi. Sikap hidup yang dituntut oleh  filsafat  adalah kepekaan dan keterbukaan untuk senantiasa  membuat refleksi kritis rasional yang tak berkesudahan tentang penghayatan hidup, tentang  tindakan  dan tentang realitas secara keseluruhan.
a.    Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pendidikan
Filsafat dapat diletakkan di depan apa saja, karena itu jika filsafat ditaruh di depan pendidikan, maka mencari filsafat pendidikan (Marsigit: 2010). Filsafat pendidikan adalah studi tentang ontologis, epistemologis dan aksiologis dari pendidikan. Pada intinya filsafat pendidikan mempertanyakan sejumlah pertanyaan penting diantaranya: Apa itu pendidikan? Apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan? Pengetahuan apa yang paling berharga? Pengetahuan apa yang seharusnya diajarkan? Bagaimana manusia belajar? Bagaimana sebaiknya hubungan antara guru dan siswa?
Obyek dari filsafat pendidikan terdiri dari obyek formal dan obyek material. Obyek formalnya menyangkut metode sedangkan obyek materialnya menyangkut konten atau isinya. Jadi yang menjadi obyek dari filsafat pendidikan adalah semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan. Semua obyek filsafat pendidikan tersebut kemudian diuraikan dari ketiga unsur yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Secara ontologis dalam filsafat pendidikan, kita membicarakan hakekat obyek pendidikan tersebut yang menyangkut hakekat guru, siswa, pembelajaran, kurikulum dan sebagainya yang menjadi unsur pendidikan tersebut. Secara epistemologis filsafat pendidikan menguraikan aspek bagaimana mendapatkan dan mengembangkan pendidikan dan cara mendapatkan atau mengembangkan metode. Dan tentunya semua obyek mempunyai nilai atau manfaat untuk kita secara aksiologis, kita akan menguraikan nilai atau manfaat dari semua obyek tersebut.
Pada bagian ini penulis hanya menguraikan tentang salah satu obyek filsafat pendidikan yaitu guru sedangkan untuk uraian tentang obyek filsafat pendidikan yang lainnya secara lengkap pada bagian filsafat pendidikan matematika.
Guru adalah unsur penting sebagai penentu keberhasilan suatu pendidikan. Ada pepatah yang mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Pepatah ini mengandung ungkapan bahwa apa yang dilakukan oleh guru akan diikuti oleh muridnya. Jadi ketika guru berlaku baik maka siswanya akan menjadi lebih baik dan sebaliknya jika guru berlaku atau bersikap kurang baik, maka muridnya akan menjadi lebih buruk. Karena itu guru mempunyai peran yang sangat besar bagi siswa khususnya bagi pembentukan diri siswa tersebut.
Dalam kenyataannya masih banyak guru yang belum menyadari peranan besarnya bagi pembentukan diri seorang anak.  Begitupun dalam hubungan dengan filsafat pendidikan. Masih banyak guru yang belum memahami secara mendalam filsafat pendidikan. Ada pula guru yang tidak mengetahui dan memahami tentang filsafat pendidikan khususnya tentang aspek ontologisnya. Guru tersebut merasa bahwa guru tidak mempunyai hubungan dengan filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan hanya menjadi urusan para pakar pendidikan. Hal ini berdampak pada pembelajaran yang dilakukan penekanannya hanya pada aspek pengajaran tanpa memperhatikan hakekat siswa sebagai subyek pendidikan yang sedang belajar, pembelajaran sebagai suatu cara mencapai tujuan pendidikan, kurikulum sebagai pedoman atau arah dan tujuan pendidikan sebagai nilai atau manfaat yang harus diperoleh siswa.

b.      Hubungan Guru dan Filsafat Pendidikan
Bagaimanakah Hubungan guru dengan filsafat pendidikan?      Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh ilmu pendidikan. Masalah-masalah tersebut menjadi pertanyaan-pertanyaan yang harus dicari jawabannya oleh guru bersama siswa. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para guru. Hal tersebut akan mewarnai sikap dan perilakunya dalam mengelola proses pembelajaran. Pemahaman filsafat pendidikan akan membantu guru menyelesaikan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan rencana yang tepat.

c.       Peranan Filsafat Pendidikan Bagi Guru
Pertanyaan selanjutnya adalah apa peranan filsafat pendidikan bagi guru?  Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga aspek filsafat menurut Kemur (2009), yaitu:
1)   Ontologi Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Dapat mengkonsentrasikan pada proses pendidikan, dapat juga pada ilmu pendidikan. Jika mengutamakan proses pendidikan, yang dipersoalkan adalah cita-cita, bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Jika mengutamakan ilmu pendidikan maka yang menjadi pusat perhatian adalah konsep, ide, dan metode pengembangan dalam ilmu pendidikan. Ontologi merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat. Memahami filsafat ini diperlukan untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak atau siswa. Hakekat siswa tersebut dapat ditinjau dari berbagai pandangan para filsuf.
2)      Epistemologi Pendidikan
Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu ke situasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga? Kumpulan pertanyaan di atas adalah epistemologi. Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran.
Hal pertama yang dilakukan oleh guru adalah menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Epistemologis berhubungan dengan cara atau mateode. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum.

3)      Aksiologi Pendidikan
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah erat kaitannya dengan pendidikan, karena nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik?
Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru yang baik harus mengetahui atau memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara vital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Peran filsafat pendidikan bagi guru adalah dengan ontologi guru mengetahui hakekat manusia, khususnya siswa sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan aksiologi guru memahami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan.

d.      Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan yang Mempengaruhi Perkembangan Pendidikan
Filsafat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Demikian pula dalam aspek pendidikan. Perkembangan pendidikan juga dipengaruhi oleh filsafat. Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan :
1)      Filsafat Pendidikan Idealisme
Untuk idealisme Hegel, pendidikan merupakan proses perwujudan diri.  Dinamika  perwujudan diri pada dasarnya  terjadi dalam proses dialektis yang mendamaikan hal-hal yang  berlawanan menurut urutan tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam filsafat  Friedrich Wilhelm August Frobel (1782-1852), idealisme membuat pembaruan yang paling berarti dalam pendidikan. Frobel adalah orang pertama yang memahami arti permainan bagi pendidikan anak. Perkembangan yang satu selalu paralel dengan yang lain.
Tujuan kehidupan dan pendidikan untuk setiap orang adalah  mengembangkan  dan mewujudkan  kesatuan  ilahi  yang berdiam di dalam diri sendiri. Kodrat batin dari anak sudah terbentuk untuk tujuan ini, karena sifatnya yang khas adalah aktivitas diri yang sedang berusaha dan aktivitas tersebut dapat dilihat pada permaianan.  Frobel tidak membatasi makna pendidikan hanya pada kegembiraan permainan yang membahagiakan. Ia selalu  mencermati  tanda-tanda dalam permainan yang menyimbolkan bangkitnya yang ilahi dari batin anak.



2)      Filsafat Realisme
Filsafat pendidikan sejak Sokrates sampai dengan  Rousseau memberi kesan bahwa  anak didik dapat mengenal  dunia sebagai sesuatu yang  real. Dalam keyakinan ini, kebenaran  didefinisikan sebagai persesuaian  antara akal budi dan kenyataan di luar akal budi. Menurut john locke anak memperoleh pengetahuannya dari pengalamannya dalam dunia real.
Filsafat pendidikan realisme menurut Aristoteles merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualism. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Tujuan pendidikan menurut filsafat pendidikan realism adalah membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat.
3)      Filsafat Pragmatisme
Filsafat pragmatis dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Pragmatisme dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Menurut Dewey, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
4)      Filsafat konstruktivisme,
Konstruktivis yang dipelopori oleh Piaget menitikberatkan pengetahuan sebagai konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru.  Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus menerus. Jadi menurut Piaget pengetahuan hanya dapat dibangun atau dibentuk oleh siswa sendiri. Peran guru disini hanya sebagai fasilitator yang membimbing siswa dalam proses membangun pengetahuan.
5)      Filsafat socio-konstruktivism
Menurut kaum socio-konstrusktivism yang dipelopori oleh Paul Ernest, siswa merupakan makhluk sosial dan mempunyai kemampuan untuk membangun pengetahuan. Tujuan pendidikan adalah membangun relasi atau komunikasi sehingga secara bersama dapat membangun pengetahuan. Siswa belajar dengan baik ketika mereka bekerja sama dalam kelompok sosialnya dan mengembangkan pemahaman melalui menggunakan pengalaman sebelumnya, wacana, dan penalaran.

2.      Filsafat Matematika
a.    Ontologism, Epistemologis, dan Aksiologi Matematika
1)   Ontologis Matematika
Secara ontologism filsafat matematika membicarakan tentang hakekat matematika. Para filsuf matematika menguraikan hakekat matematika sesuai cara pandangnya masing-masing dan pendapat para filsuf bukan dengan tujuan mempertentangkan tetapi untuk saling melengkapi. Menurut Socrates matematika adalah pertanyaan, menurut Plato matematika adalah ide, menurut Aristoteles, matematika adalah pengalaman, menurut Descartes matematika adalah rasional, menurut Kant matematika adalah sintetik a priori, menurut Hegel matematika itu mensejarah, menurut Russell matematika adalah logika, menurut Wittgenstain matematika adalah bahasa, menurut Lakatos matematika adalah kesalahan, dan menurut Ernest matematika adalah pergaulan, menurut stuart Mill matematika adalah ilmu empiris yang lahir dari pengalaman masa lalu.
Selain tentang pengertian matematika ontologis filsafat mengkaji hakekat dari obyek matematika itu. Menurut Plato obyek matematika adalah benda abstrak yang memiliki refleksi sempurna di dunia ini seperti segitiga dan bidang. Menurut Socrates obyek matematika adalah hasil abstraksi dari eksperimen atau percobaan. Melalui interaksi dengan obyek atau benda riilnya kita dapat membangun atau membentuk konsep matematisnya. Menurut John locke pengetahuan matematika adalah dunia riil
2)      Epistemologis matematika
Kajian epistemologis menurut Marsigit (2009) yaitu sebagai berikut. Matematika pada hakekatnya, selalu berusaha mengungkap kebenaran namun dalam sejarah panjangnya, sejak jaman Renaisans, aspek empiris dari matematika seperti yang dicanangkan oleh John Stuart Mill ternyata kurang mendapat prospek yang cerah. Matematika telah berkembang menjadi kegiatan abstraksi yang lebih tinggi di atas kejelasan pondasinya seperti yang terjadi pada kalkulus Infinitas dan Bilangan Kompleks yang telah mengambil jarak dari pandangan kaum skeptik. Tetapi pada abad yang lalu, dengan ditemukannya kontradiksi pada Teori Himpunan, kaum skeptik dan empiris mulai menggaungkan lagi pandangan-pandangan tentang pondasi matematika.
Kaum pondasionalis epistemologis berusaha meletakkan dasar pengetahuan matematika dan berusaha menjamin kepastian dan kebenaran matematika. untuk mengatasi kerancuan dan ketidakpastian dari pondasi matematika yang telah diletakkan sebelumnya. Perlu kiranya dicatat bahwa di dalam kajian pondasi epistemologis matematika terdapat pandangan tentang epistemologi standar yang meliputi kajian tentang kebenaran, kepastian, universalisme, obyektivitas, rasionalitas, dan sebagainya. Menurut kaum pondasionalisme empiris , dasar dari pengetahuan adalah lebih dari kebenaran yang diperoleh dari hukum sebab-akibat dari pada diturunkan dari argumen-argumennya.
Munculnya Teori Pengetahuan dari Immanuel Kant, sebagai landasan epistemologis dari pengetahuan, dipengaruhi paling tidak oleh pengaruh dua aliran epistemologi yang masing-masing berakar pada pondasi empiris dan pondasi rasionalis. Menurut kaum pondasionalis empiris, terdapat unsur dasar pengetahuan dalam mana nilai kebenarannya lebih dihasilkan oleh hukum sebab-akibat dari pada dihasilkan oleh argumen-argumennya; mereka percaya bahwa keberadaan dari kebenaran tersebut disebabkan oleh asumsi bahwa obyek dari pernyataan yang membawa nilai kebenaran itu.
Kaum pondasionalis empiris mempunyai dua asumsi yaitu:
a)   Terdapat nilai kebenaran, jika kita mengetahuinya, yang memungkinkan kita dapat menjabarkan semua pengetahuan tentang ada;
b)   Nilai kebenaran itu diterima sebagai benar tanpa prasyarat.
Untuk menemukan konsep dan putusan yang mana yang mendasari pengetahuan kita, kaum pondasionalis rasionalis berusaha mencari sumber dari kegiatan berpikir, yaitu kegiatan dimana kita dapat menemukan ide dasar dan kebenaran. Kegiatan tersebut tidak hanya menghasilkan pondasi yang dicari dari pengetahuan tetapi juga memberikan kepastian epistemologis, yaitu suatu keadaan yang pasti dan dengan sendirinya benar. Dasar dari ide dan putusan bersifat pasti karena mereka dihasilkan dari suatu aktivitas yang terang dan jelas sebagai prasyarat diperolehnya putusan yang dapat diturunkan menjadi putusan-putusan yang lainnya.
Kaum rasionalis seperti Plato, Descartes, Leibniz, atau Spinoza, percaya bahwa semua pengetahuan telah ada pada akal budi sebelum aktivitas kognisi dimulai; namun, mereka dianggap belum mampu meletakkan dasar-dasar pengetahuan yang menjamin nilai kebenaran suatu proposisi. Di lain pihak, usaha meletakkan dasar kognisi dan pengetahuan tidak berarti bahwa seorang Immanuel Kant memadukan begitu saja apa yang dikerjakan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis. Kant berusaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana kegiatan kognisi mungkin terjadi dalam kaitannya dengan hubungan antara subjek dan objek atau bagaimana representasi sintetik dan obyeknya dapat terjadi dan bagaimana hubungan antara keduanya?
Berkaitan dengan masalah tersebut, di dalam Teori Pengetahuannya, Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar epistemologis bagi matematika untuk menjamin bahwa matematika memang benar dapat dipandang sebagai ilmu. Kant menyatakan bahwa metode yang benar untuk memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai pengetahuan a priori. Menurut Kant, secara spesifik, validitas obyektif dari pengetahuan matematika diperoleh melalui bentuk a priori dari sensibilitas kita yang memungkinkan diperolehnya pengalaman inderawi. Namun, perkembangan matematika pada dua abad terakhir telah memberikan tantangan yang cukup signifikan terhadap pandangan Immanuel Kant ini.
3)      Aksiologi matematika
Kajian aksilogis ini diambil menurut pandangan Marsigit (2008). Pendekatan aksiologis mempelajari secara filosofis hakekat nilai atau value dari matematika. Apakah matematika sebagai kenyataan yang bernilai atau yang diberi nilai? Apakah nilai dari kenyataan matematika bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik? Apakah nilai matematika bersifat pragmatis atau semantik? Apakah nilai matematika bersifat subyektif atau obyektif? Apakah nilai matematika bersifat hakiki atau sementara? Apakah nilai matematika bersifat bebas atau tergantung? Apakah nilai matematika bersifat tunggal atau jamak? Apakah terdapat unsur keindahan di dalam kenyataan matematika, dan bagaimana hubungan kenyataan matematika dengan seni? Adakah tanggung jawab diri terhadap kenyataan matematika? Penyelidikan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam kenyataan matematika telah lakukan sejak filsafat kontemporer.
Menurut Hartman, nilai adalah fenomena atau konsep; nilai sesuatu ditentukan oleh sejauh mana fenomena atau konsep itu sampai kepada makna atau arti. Menurutnya, nilai matematika paling sedikit memuat empat dimensi: matematika mempunyai nilai karena maknanya, matematika mempunyai nilai karena keunikannya, matematika mempunyai nilai karena tujuannya, dan matematika mempunyai nilai karena fungsinya. Tiap-tiap dimensi nilai matematika tersebut selalu terkait dengan sifat nilai yang bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik. Jika seseorang menguasai matematika hanya untuk dirinya maka pengetahuan matematikanya bersifat intrinsik; jika dia bisa menerapkan matematika untuk kehidupan sehari-hari maka pengetahuan matematika bersifat ekstrinsik; dan jika dia dapat mengembangkan matematika dalam kancah pergaulan masyarakat matematika maka pengetahuan matematikanya bersifat sistemik.
Nilai matematika yang dapat saya peroleh dari filsafat matematika adalah bahwa matematika adalah suatu ide yang membantu saya memecahkan masalah-masalah. Pemecahan masalah tersebut dapat saya mulai dengan membuat masalah tersebut sebagai pertanyaan yang harus dijawab. Masalah-masalah yang ada tersebut merupakan masalahku maka pemecahannya adalah menggunakan pikiranku dan pengalamanku.
b.   Aliran-Aliran dalam Filsafat Matematika
Perkembangan matematika juga dipengaruhi oleh filsafat. Berikut beberapa aliran yang mempengaruhi perkembangan matematika.
1)   Aliran absolutism
Menurut aliran ini pengertian dalam matematika tidak perlu dikembangkan tetapi untuk dikembangkan. Kebenaran terdahulu tidak akan mengalami perubahan oleh penemuan kebenaran baru. Jadi matematika terbentuk oleh akumulasi kebenaran dan bersifat tetap yang berdasarkan teori bukan pengalaman. Teori matematika memuat tidak lebih dari teori matematika yang tertentu.
2)      Aliran progressive
Menurut aliran ini kebenaran matematika tidak konsisten dengan teori atau tidak berdasarkan teori tapi merupakan perluasan dari fenomena matematika.
3)      Aliran platonism
Menurut aliran Platonism obyek dan struktur matematika mempunyai keberadaan yang riil yang tidak bergantung pada manusia dan mengerjakan matematika adalah suatu proses penemuan hubungan-hubungan sebelumnya. Jadi matematika memuat jabaran tentang obyek dan hubungannya, serta struktur yang menghubungkannya. Menurut plato karakteristik matematika adalah ketetapan, abadi/permanen, dan bebas untuk dipahami. Bialngan-bilangan, entitas geometri dan relasi anatar entitas-entitas itu obyektif atau paling tidak berkaitan dan eksistensinya masuk akal. Namun aliran ini kemudian tidak diterima dalam filsafat matematika karena kebenarannya tidak dapat diuji.
4)      Aliran convensionalism
Aliran convensionalism berpandangan bahwa pengetahuan matematika dan kebenarannya berlandaskan pada kesepakatan bahasa. Secara khusus kebenaran matematika adalah logika dan bersifat analitik dan kebenaran ditentukan oleh arti dari istilah yang terkandungnya.
5)      Aliran empirism
Menurut aliran empirism matematika adalah pengambilan kesimpulan berdasarkan langkah-langkah empiris. Ada dua tesis yang dikembangkan oleh kaum empirism, pertama pengertian matematika tidak diturunkan dari pengamatan tetapi didefinisikan menggunakan pengertian lain yang sudah ada. Melalui urutan pendefinisian menuju pengertian yang diamati. Kedua kebenaran matematika mempunyai pembenaran secara empiris yaitu yang diturunkan dari pengamatan terhadap benda-benda konkret.

3.    Filsafat Pendidikan Matematika
Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat yang membahas proses pendidikan dalam bidang studi matematika. Pendidikan matematika adalah bidang studi yang mempelajari aspek-aspek sifat dasar dan sejarah matematika, psikologi belajar dan mengajar matematika, kurikulum matematika sekolah, baik pengembangan maupun penerapannya di kelas.
a.    Ontologis Filsafat Pendidikan Matematika
Menurut Marsigit (2010) Pendidikan itu dapat diibaratkan sebagai gerbong kereta api. Demikian juga pendidikan matematika. Filsafat itu dapat diibaratkan sebagai helikopter pengawal gerbong kereta api. Para pendidik, atau guru atau praktisi kependidikan jika tidak pernah mempelajari filsafat pendidikan atau filsafat pendidikan matematika, mereka itu ibarat penumpang kereta api tersebut. Maka bagaimana mungkin penumpang kereta api bisa mengetahui semua aspek sudut-sudut gerbong kereta api dalam perjalanannya. Maka filsafat pendidikan matematika itu ibarat seorang penumpang kereta api itu keluar dari gerbong kereta api, kemudian keluar naik helicopter untuk mengikuti dan memonitor laju perjalanan kereta api itu. Maka orang yang telah mempelajari filsafat pendidikan matematika atau jauh lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek pendidikan matematika.
Selanjutnya Marsigit (2010) mengatakan bahwa filsafat pendidikan matematika adalah refleksi terhadap pendidikan matematika, meliputi refleksi terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika. Padahal pendidikan matematika itu meliputi guru, matematika, murid, ruang, kegiatan, alat dan sebagainya. Padahal guru itu mempunyai sifat yang banyak sekali. Jadi ada banyak hal yang perlu direfleksikan. Maka filsafat pendidikan matematika, memperbincangkan semua obyek-obyeknya. Maksud memperbincangkan adalah menjelaskan semua dari apa yang dimaksud dengan semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika.
Selanjutnya, berkaitan dengan filsafat pendidikan, seorang guru matematika harus memahami filsafat pendidikan apa yang dianutnya dengan menggunakan pertanyaan berikut mengapa kita perlu mengajar/belajar matematika?" Siswa biasanya mengajukan pertanyaan ini ketika akan belajar tentang matematika. Ada banyak jawaban yang kita berikan diantaranya: matematika berguna, matematika itu indah, dan matematika adalah masalah dalam kehidupan siswa. Jawaban yang terakhir akan membantu siswa untuk berpikir kritis, dan memecahkan masalah matematis.
Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja.
Secara ontologis filsafat pendidikan matematika berbicara tentang hakekat obyek-obyeknya yang sebelumnya sudah dibahas di atas. Obyek-obyek filsafat pendidikan matematika tersebut adalah.
1)   Hakekat siswa dalam pendidikan matematika
Dalam pandangan lama siswa adalah anak yang duduk di belakang meja yang mendengarkan semua ucapan gurunya. Namun pandangan tentang siswa tersebut sekarang sudah berubah seiring perubahan paradigm pendidikan. Siswa adalah pembelajar aktif yang membangun pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep daripada sebagai konsep kertas putih yang masih kosong yang siap ditulis pengetahuan dari guru (tabula rasa). Siswa juga individu yang lagi senang bermain. Siswa juga mempunyai pengalaman dan mampu berpikir. Berhubungan dengan matematika maka siswa dalam pendidikan matematika adalah individu yang mampu membangun konsepnya sendiri melalui pengalaman dan pikiran namun masih senang bermain.
2)   Hakekat guru dalam pendidikan matematika
Siapakah guru matematika? Sebelum menjawab pertanyaan tentang guru matematika terlebih dahulu kita tahu dulu siapakah guru itu. Menurut PP nomor74 Tahun 2008 tentang guru, disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Namun hakekat guru tersebut belum sepenuhnya dimengerti dan dipahami oleh guru khususnya para guru matematika. Berdasarkan fakta di lapangan para guru matematika masih salah menerjemahkan PP tersebut. Guru masih berpikir bahwa tugasnya ada Pandangan siswa tentang seorang guru matematika adalah seorang yang kejam, bengis selalu memberi hukuman, yang pintar menghafal semua konsep matematika. Guru matematika sebagai seorang penceramah atau pemberi materi yang semua ucapannya selalu benar karena itu harus didengar dan tidak dibantah. Guru matematika selama ini berperan sebagai seorang penceramah abstrak karena materi yang diberikan susah untuk dimengerti karena terasa asing dan jauh dari lingkungan siswa. Perubahan paradigm pendidikan menuntut guru matematika untuk merubah cara pandang terhadap dirinya dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan filsafat konstruktivis seorang guru matematika adalah orang yang membantu atau memfasilitasi siswa untuk membangun pengetahuan.
3)   Hakekat pembelajaran matematika
Menurut filsafat konstrukstivis pembelajaran matematika adalah kegiatan membelajar siswa. Sesuai dengan hakekat siswa maka belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan sendiri. Jadi pembelajaran adalah suatu kegiatan dimana siswa difasilitasi oleh guru untuk membangun pengetahuan sendri. Jadi pembelajaran matematika bukan merupakan kegiatan pemberian informasi atau konsep saja tetapi merupakan kegiatan yang menempatkan siswa sebagai subyek yang aktif. Pengetahuan tersebut harus ditemukan sendiri oleh siswa. Jadi pembelajaran matematika diharapkan mempertimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
4)   Hakekat penilaian
Karena pembelajaran menekankan pada kegiatan penyampaian informasi maka penilaian yang dilakukan tidak mencakup semua aspek pendidikan. Guru lebih menekankan penilaian secara kognitif itupun hanya mengukur hasil akhirnya saja. Dalam filsafat konstruktivis tujuan pendidikan adalah membangun pengetahuan sendiri. Oleh karena itu penilaian bukan hanya penilaian akhir yaitu penilaian terhadap penguasaan semua materi matematika tetapi juga meliputi penilaian proses dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
5)   Hakekat matematika sekolah
Matematika sekolah adalah bagian atau unsur dari matematika yang dipilih, antara lain dengan pertimbangan atau berorientasi pada pendidikan. Oleh karena itu, pembelajaran matematika harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa. Matematika dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah adalah matematika sekolah. Matematika yang diajarkan di senang persekolahan seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas disebut matematika sekolah. Matematika sekolah tersebut terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpadu pada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Erman Suherman dkk, 2003: 55).
Ebbut dan Straker (Marsigit, 2007: 5-6) menguraikan hakikat matematika sekolah, matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; kegiatan problem solving; alat komunikasi.
Matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan. Matematika adalah alat komunikasi dalam kegiatan problem solving
6)   Hakekat kurikulum
Apa dan yang mana kurikulum itu merupakan pertanyaan yang wajib dijawab oleh guru. Dalam kenyataan masih ada guru yang memandang kurikulum hanya sebagai materi saja. Berikut ini adalah beberapa pengertian kurikulum yang diambil oleh Herdian http://herdisaksul.wordpress.com/2008/06/03/hakekat-kurikulum/ . Kurikulum pada sekolah modern dapat mendefinisikan seluruh pengalaman belajar anak yang menjadi tanggung jawab sekolah (Robert S.Flaming).  Kurikulum ialah semua pengalaman anak yang menjadi tanggung jawab sekolah (William B.Ragan).  Kurikulum adalah semua pengalaman yang direncanakan, yang dilakukan oleh sekolah untuk menolong para siswa dalam mencapai hasil belajar kepada kemampuan siswa yang paling baik. (Nengly and Evaras). Kurikulum adalah susunan atau rangkaian dari hasil belajar yang disengaja. Kurikulum menggambarkan dari hasil pengajaran. (Inlow).
Menurut UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sikdiknas kurikulum merupakan suatu sistem yang memiliki komponen-komponen tertentu. Sistem kurikulum terbentuk oleh empat komponen, yaitu komponen tujuan, isi kurikulum, metode atau strategi pencapain tujuan dan komponen evaluasi.  Sebagai suatu sistem setiap komponen harus saling berkaitan satu sama lain. Manakala salah satu komponen yang membentuk sistem kurikulum terganggu atau tidak berkaitan dengan komponen lainya, maka sistem kurikulum pun akan terganggu pula.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan yang memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi serta proses pendidikan.
KTSP merupakan paradigma baru dalam pengembangan kurikulum yang memberikan otonomi yang luas kepada setiap satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses pembelajaran di sekolah. KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah serta sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas maka hakekat KTSP matematika adalah kurikulum yang dikembangkan oleh guru matematika dengan memperhatikan ruang dan waktunya (kondisi, potensi dan karekateristik matematika, siswa dan daerah)

b.      Epistemologis Filsafat Pendidikan Matematika
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000)
Filsafat yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran matematika adalah filsafat kontruktivism. Menurut filsafat konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).
1)      Tinjauan epistemologis tentang siswa dalam pendidikan matematika
Tinjauan epistemologis dapat dikaji melalui pertanyaan: "Bagaimana siswa belajar matematika?" Dalam paradigma lama cara siswa belajar matematika adalah dengan menghafal semua materi. Cara pandang terhadap pendidikan matematika telah berubah karena itu kita sebagai guru matematika wajib mengubah cara belajar siswa. Siswa perlu belajar mandiri dan aktif untuk membangun dan menemukan konsep matematika. Mereka harus berpikir dan memahami apa yang mereka pelajari karena pada dasarnya matematika merupakan kegiatan berpikir dan apa yang dipikirkannya tentu berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh guru.
Belajar matematika bagi siswa bukanlah tugas yang sederhana yang hanya terdiri dari kegiatan menghafal dan praktek. Siswa adalah pembelajar aktif membangun pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep daripada hanya berupa "tabula rasa" untuk "menyalin" pengetahuan langsung dari guru. Siswa juga akan belajar dengan baik ketika mereka bekerja sama dan mengembangkan pemahaman melalui menggunakan pengalaman sebelumnya, wacana, dan penalaran. Dengan kata lain, ide ini adalah konstruktivisme sosial, lingkungan matematika yang berpusat pada siswa, kemandirian, dan aktif. Proses belajar ini diperlukan untuk membangun pengetahuan dan pemecahan masalah matematika.

2)      Tinjauan epistemologis tentang guru dalam pendidikan matematika
Pertanyaan berikutnya adalah "Bagaimana guru mengajar matematika?". Selain memiliki pengetahuan latar belakang matematika yang kuat, guru harus memiliki keterampilan pembelajaran yang baik untuk mengajar, mempromosikan, dan membantu siswa belajar efektif. Guru adalah pendamping atau fasilitator, bukan pentransfer pengetahuan. Mereka harus memotivasi siswa untuk secara aktif memeriksa dan memperluas pemikiran mereka, bentuk lingkungan percakapan di mana siswa berbagi dan membangun pengetahuan mereka sendiri, instruksi desain yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan melakukan, menyelaraskan kurikulum sesuai dengan standar dan penilaian siswa, dan menerapkan teknologi untuk meningkatkan pengajaran dan bersandar. Singkatnya, guru yang membuat kelas yang memaksimalkan pembelajaran siswa.
3)      Tinjauan epistemologis tentang pembelajaran matematika
Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.
Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya. Dengan mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik sebagai masukan dalam sistem pembelajaran, dan di sisi lain ada tuntutan agar proses pembelajaran mampu menghasilkan lulusan yang bermutu, maka proses pembelajaran harus dipilih, dikembangkan, dan diterapkan secara fleksibel dan bervariasi yang memenuhi kriteria minimal. Secara konseptual proses pembelajaran yang bersifat fleksibel dan bervariasi perlu diterapkan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan
Sampai saat ini pembelajaran matematika bagi siswa-siswa di tingkat dasar maupun tingkat menengah merupakan pelajaran yang dipandang sulit dan tidak disenangi oleh sebagian besar siswa. Inilah paradigma pembelajaran matematika yang selama ini terjadi pada kebanyakan sekolah. Pembelajaran matematika sekolah di tingkat dasar dan menengah merupakan pelajaran wajib bagi siswa selama berada di bangku sekolah. Bagi siswa yang minat dan mampu mempelajari konsep matematika merupakan anugerah dan mereka terasa nyaman mengikuti pembelajaran matematika. Tetapi bagi siswa yang tidak senang dengan matematika terasa musibah yang harus diikuti dengan terpaksa selama ia berada di sekolah tersebut.
Pertanyaan yang mengkaji epitemologis dari tentang pembelajaran matematika adalah bagaimana cara melaksanakan pembelajaran matematika? Pertanyaan ini berhubungan dengan pemilihan atau penggunaan metode pembelajaran matematika. Metode yang paling dominan digunakan oleh para guru termasuk guru matematika adalah metode ceramah atau tanya jawab. Metode ini menekankan pembelajaran matematika sebagai proses penyampaian materi matematika. Dalam metode ini guru menempatkan siswa sebagai individu yang pasif, tidak mampu berpikir, dan tidak ada perbedaan diantara mereka.
Dengan perubahan paradigma pendidikan maka berubah pula metode pembelajaran matematika yang digunakan oleh guru. Pemilihan metode pembelajaran matematika harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu: hakekat siswa, hakekat guru, hakekat pembelajaran, hakekat penilaian, hakekat matematika sekolah dan hakekat penilaian.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa tujuan pembelajaran matematika? Tujuan pembelajaran matematika menurut Paul Ernest tidak ada dalam ruang hampa. Tujuan tersebut merupakan milik orang, apakah individu atau kelompok social yang melaksanakan pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran matematika tersebut harus berkaitan dengan kelompok sosial dan masyarakat pada umumnya. Tujuannya adalah mengekspresikan nilai pendidikan dan nilai sosial masyarakat atau bagian dari yang terlibat dalam pembelajaran tersebut. Tujuan dan nilai-nilai pendidikan matematika terpusat pada perhatian terhadap kegiatan kelompok siswa.
4)      Tinjauan epistemologis tentang penilaian dalam pendidikan matematika.
Pertanyaan epistemologis menyangkut penilaian pendidikan matematika adalah: Bagaimanakah melakukan penilaian dalam pembelajaran matematika? Pertanyaan ini berhubungan dengan jenis penilaian yang kita gunakan. Jawabannya tergantung pada tujuan pendidikan matematika. Jika pendidikan bertujuan untuk penguasaan materi maka penilaian yang digunakan adalah penilaian akhir yang berupa tests untuk mengukur sejauh mana penguasaan materi oleh siswa.
Dalam pendidikan matematika sekarang ini penilaian yang dilakukan diharapkan mengukur semua aspek bukan pada penguasaan materi pembelajaran tetapi lebih khusus pada penguasaan kompetensi karena itu penilaian yang dilakukan juga memperhatikan kemampuan psikomotorik siswa.
5)      Tinjauan epistemologis tentang matematika sekolah
Pertanyaan epistemologisnya adalah bagaimana mengembangkan matematika sekolah? Penyajian matematika sekolah disesuaikan dengan karakteristik siswa. pola pikir matematika sebagai ilmu adalah deduktif, sifat atau teorema yang ditemukan secara induktif , selanjutnya harus dibuktikan secara deduktif. Namun dalam matematika sekolah pola pikir induktif dapat digunakan dengan maksud menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa
Implikasi dari pandangan bahwa matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan adalah: memberikan kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan; memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara, mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan dan pengelompokan; mendorong siswa menarik kesimpulan umum; dan membantu siswa memahami dan menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya.
Implikasi dari pandangan matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan terhadap pembelajaran matematika adalah: mendorong inisiatif dan memberi kesempatan berpikir berbeda; mendorong rasa ingin tahu, keinginan bertanya, kemampuan menyanggah dan kemampuan memperkirakan; menghargai penemuan yang di luar perkiraan sebagai hal yang bermanfaat; mendorong siswa menemukan struktur dan desain matematika; mendorong siswa menghargai penemuan siswa lainnya; mendorong siswa berpikir refleksif; dan tidak menyarankan penggunaan suatu metode tertentu. Implikasi dari matematika sebagai alat komunikasi dalam kegiatan problem solving, maka dalam pembelajaran matematika guru perlu menyediakan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan matematika, membantu siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan caranya sendiri, membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan matematika, mendorong siswa untuk berfikir logis, konsisten, sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk memecahkan persoalan, membantu siswa mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga/media pendidikan matematika seperti jangka, kalkulator, dan sebagainya.
Implikasi dari pandangan bahwa matematika sebagai alat komunikasi dalam pembelajaran adalah: mendorong siswa membuat contoh sifat matematika; mendorong siswa menjelaskan sifat matematika; mendorong siswa memberikan alasan perlunya kegiatan matematika; mendorong siswa membicarakan persoalan matematika; mendorong siswa membaca dan menulis matematika; menghargai bahasa ibu siswa dalam membicarakan matematika
6)      Tinjauan epistemologis tentang kurikulum pendidikan matematika
Pertanyaan tentang kurikulum matematika yang berhubungan dengan epistemologis adalah: bagaimanakah mengembangkan kurikulum pendidikan matematika? Sebelum menjawab secara khusus dalam matematika, kita perlu membahas pengembangan kurikulum pendidikan secara umum terlebih dahulu. Jawaban dari pertanyaan ini adalah kita merujuk pada pemikiran Ella Yulaelawati (dalam Sukmadinata 1997) yang menguraikan kaitan filsafat dengan pengembangan kurikulum.
a)   Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b)   Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c)   Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan: bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
d)  Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e)   Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan.
Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula bersifat sentralistic berubah menjadi desentralistik. Desentralistik pengelolaan pendidikan dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulum mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yaitu Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Desentralisasi pengelolaan pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan kondisi daerah perlu segera dilaksanakan. Bentuk nyata dari desentralisasi pengelolaan pendidikan ini adalah diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan  dengan pengelolaan pendidikan. Seperti dalam pengelolaan kurikulum, baik dalam penyusunannya maupun pelaksanaannya di sekolah.
Kewenangan sekolah dalam menyusun kurikulum memungkinkan sekolah menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa. Keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan demikian, daerah dan atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara mengajar, dan menilai keberhasilan belajar mengajar
Penerapan KTSP dalam matematika memberi peluang yang besar bagi para guru matematika untuk mempertimbangkan berbagai hal untuk mencapai tujuan pendidikan matematika. Untuk menjawab bagaimana mengembangkan kurikulum tersebut maka jawabannya adalah tergantung pada guru matematika tersebut. Tugas mengembangkan kurikulum ini merupakan tugas guru matematika yang tidak mudah. Guru matematika diharapkan mampu mengembangkan matematika sesuai dengan  ruang dan waktunya. Artinya kurikulum yang dikembangkan mengakomodir semua perbedaan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mempengaruhi semua aspek pendidikan
Filsafat

c.    Tinjauan Aksiologi Filsafat Pendidikan Matematika
Berbicara tentang aksilogis berarti berbicara tentang manfaat dan nilai yang diperoleh dari pendidikan matematika tersebut. Manfaat pendidikan matematika dirasakan oleh bagi siswa dan bagi guru yang mengacu pada tujuan pendidikan matematika. Nilai yang dapat diperoleh dari filsafat pendidikan matematika adalah bahwa kita sebagai guru matematika hendaknya merefleksi sejauh mana pembelajaran yang kita lakukan sesuai dengan hakekatnya masing-masing. Melalui filsafat pendidikan matematika, guru metematikapun memperoleh pedoman atau acuan untuk menyusun dan mengembangkan pendidikan matematika.


B.     Upayaku Membangun Filsafat Pendidikan Matematika
1.      Pengalaman yang Berhubungan Filsafat Pendidikan Matematika
Ketika seseorang dilahirkan ke bumi ia hanya berpikir bagaimana bisa mendapatkan sesuatu, hal ini disebabkan karena pengetahuan dan pengalaman yang masih kurang disesuaikan dengan ruang dan waktu pada saat itu. Ketika bayi otaknya bagaikan spons yang mampu menyerap apa saja. Bayi mampu belajar dengan cepat kepada lingkungan sekitarnya. Bayi selalu ingin mendapatkan semua khususnya yang ada di luar dirinya. Dua hal itu yang menjadi sebab kenapa seorang bayi memiliki kemampuan dan otak yang cerdas. Kemampuannya itu muncul karena bayi didukung oleh beberapa hal; Pertama, Bayi selalu didukung oleh orang tua yang suportif, yang selalu mendukung kegiatan belajarnya. Nyaris tidak ada orang tua yang tidak merasa senang jika bayinya bisa melakukan hal-hal yang baru, meski hal-hal itu harus dilaluinya dengan melakukan kesalahan dan kegagalan terlebih dahulu. Hal ini menimbulkan kepercayaan (self confidence) dan harga diri (self esteem) yang tinggi kepada bayi. Sebuah modalitas yang sangat penting dalam proses belajar.
Kedua, Bayi tidak takut dalam mengambil resiko ketika belajar. Dia tidak peduli apakah dia akan salah, mendapat malu atau gagal. Mari lihat bayi yang sedang belajar berjalan. Pada tahun pertamanya seorang bayi merangkak dan mulai merambat ke dinding untuk berdiri. Setelah berhasil, dia mulai mencoba untuk berjalan. Kaki-kaki mungilnya yang masih muda bergetar. Berkali-kali dia terjatuh, lalu menangis. Tapi tidak lama kemudian dia mulai berdiri lagi dan mencoba untuk kembali berjalan. Tidak ada rasa jera dalam dirinya. Bayi merupakan sosok hebat dalam proses belajar. Dia tidak takut mengambil resiko.
Ketika bayi komunikasi yang dilakukan masih berupa komunikasi informal sehingga yang mengerti komunikasi tersebut adalah orang tua atau orang yang dekat dengan saya. Melalui komunikasi dan hubungan sosial tersebut saya belajar banyak hal. Siswa tidak membutuhkan teori yang panjang tetapi pengalamanlah yang menjadi pelajaran yang berarti baginya. Komunikasi yang baik juga membantu perkembangan bayi dalam mencapai pengetahuan.
Salah satu pengetahuan yang diperoleh oleh seorang anak matematika yaitu angka-angka. Awalnya pandangan tentang matematika adalah semua hal yang berhubungan dengan angka dan oleh karena itu matematika merupakan suatu hal yang menyenangkan karena matematika yang berupa angka dapat selalu ditemui dan ada di sekitar. Selain dalam keluarga pengetahuan juga diperoleh melalui hubungan dengan teman dan lingkungan. Dan konsep tentang angka dalam bilanganpun semakin bertambah sesuai dengan bertambahnya usia juga pergaulan dan bertambah berat dan banyak pula konsep yang harus dikuasai.
Bagaimana perkembangan bayi tersebut ketika masuk sekolah Saat dia masuk tahun pertamanya di sekolah dasar, awalnya dia merasa sangat bahagia karena menganggap akan memiliki teman-teman baru, lingkungan baru dan segala hal baru yang membuatnya penasaran. Di sekolah ia bertemu teman baik teman bermain di rumah dan juga teman baru dan yang lebih senang lagi karena bertemu dengan Bapak/Ibu guru. Dan kesan pertama semua sangat indah. selanjutnya bagaimana dengan pengalaman baru dalam hubungan dengan matematika. Di sekolah  anak menemukan bahwa matematika itu bukan sekedar angka saja tapi juga termasuk bangun-bangun geometrid an konsep-konsep lainnya. Bertambah lagi konsep matematika yang ada dikonsep anak tersebut.
Berdasarkan pengalaman pribadiku pada awal masa sekolah matematika menjadi mata pelajaran yang menyenangkan, apalagi didukung oleh guru matematika yang cara mengajar matematika  menarik perhatianku. Pengalaman ini merubah persepsi saya tentang matematika yang sebelumnya yaitu matematika sebagai mata pelajaran yang paling rumit diantara semua pelajaran yang lain. Pembelajaran disajikan dengan permainan dan didukung oleh penggunaan media-media sehingga membuat kami semua tertarik dengan matematika. Matematika yang disajikan guru merupakan materi yang ada di sekitarku bahkan matematika dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada di sekitarku. Sungguh merupakan kenangan manis dan terindah tentang matematika.
Namun keindahan matematika tidak berlangsung lama. Begitu naik kelas guru matematika diganti oleh guru yang menurutku cocoknya mengajar ilmu sosial. Materi yang diajarkan dirasakan makin sulit dan pembelajaran kaku. Ketakutan terhadap matematika mulai terbentuk ketika guru memvonis jawaban yang aku berikan salah. Padahal ketika menjawab aku sangat dengan percaya diri akan menjawab dengan benar. Umpan balik yang diberikan oleh guru terhadap jawabanku membawa dampak negatif bagi siswa. Kepercayaan diri dan penilaian positif tentang matematika serta merta berubah, matematika ternyata tidak mudah seperti yang aku temukan sebelumnya. Materi matematika yang diajarkan adalah materi yang ada di buku-buku yang sudah disiapkan. Dalam pembelajaran guru juga menggunakan teknik kerja kelompok. Kelompok hanya digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan soal tanpa mempertimbangkan apakah dalam kelompok semua siswa aktif. hal ini disebabkan karena guru lebih memilih untuk mengerjakan hal yang lain ketika kami bekerja kelompok daripada memberikan bimbingan dan arahan bagi kami khususnya ketika mengalami kesulitan. Jika mengalami kesulitan siswa lebih memilih diam ketimbang harus menerima akibat dimarahi dan dicap bodoh oleh guru. Dalam kelompok biasanya siswa yang tergolong siswa berkemampuan lebih tinggi lebih mendominasi kegiatan kelompok sedangkan yang berkemampuan kurang pekerjaannya menonton saja.  
Dalam pembelajaran kami diharapkan patuh dan diam mendengarkan apa yang didengar oleh guru. Kami hanya aktif jika diberi soal dan dikerjakan. Walaupun soal tersebut menggambarkan kondisi yang asing namun kami tetap dituntut untuk  menyelesaikannya. Sungguh matematika menjadi sesuatu yang menakutkan sehingga persepsi negatif yang sebelumnya sudah ada di pikiran akhirnya terbukti.
Melalui ilustrasi ini dapat dilihat bahwa betapa pentingnya peran guru dalam membentuk tingkah laku, mencerdaskan, menanamkan sikap mental atau mempengaruhi antusiasme seorang siswa dalam proses pembelajaran. Kesalahan seorang guru dapat berakibat fatal bagi kehidupan siswa, bahkan hingga seumur hidupnya. Motivasi seorang siswa terhadap matematika sangat tergantung pada Bagaimana sikap guru dalam pembelajaran.
Namun ironisnya, bahwa pada kenyataannya belum semua guru bersedia mempertimbangkan sikapnya kepada para siswa. Masih banyak guru yang bersikap semaunya, merasa menjadi raja di kelas, kurang peka, dan cenderung kaku. Kita sebut saja tipe guru demikian sebagai guru konvensional. Guru-guru bergaya konvensional umumnya menerapkan metode ceramah, bersifat sentralistik, merasa benar sendiri, tidak memiliki inisiatif untuk memotivasi siswa, pemalas, kurang berwawasan, dan tradisional. Mereka juga cenderung galak dan sangat reaksioner. Karena bersikap sentralistik, guru selalu bersedia bicara banyak, namun tidak bersedia mendengar walau sedikit. Padahal kunci keberhasilan seorang guru adalah bersedia mendengar dan berbagi kepada para siswanya.
Pandangan tentang matematika selalu berubah tergantung bagaimana guru mengelolah pembelajarannya. Hal ini pulalah yang membangkitkan keinginanku untuk menjadi seorang guru. Seorang guru matematika yang mengerti ontologism, epistemologis dan aksilogis pendidikan matematika sehingga mampu menyesuaikan pembelajaran matematika dengan filsafat pendidikan matematika.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya pendidikan matematika di Indonesia belum sesuai dengan harapan. Saya mulai dari perencanaan pembelajaran. Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan perencanaan yang matang. Perencanaan yang dimaksud dimulai dari persiapan mengajar. Guru masih belum kreatif menyusun perangkat pembelajaran. RPP dan silabus yang dibuat hanya untuk memenuhi tuntutan administrasi saja dan tampak sangat abstrak serta tidak menggambarkan proses yang akan dijalankan secara rinci dan sistematis. Bahkan ada sebagian guru yang menyalin silabus dan RPP yang dipunyai guru matematika di tempat lain atau menyalin dari buku karena pengetahuan tentang RPP dan silabus sangat kurang.
Silabus dan RPP yang baik adalah yang mampu menjawab tuntutan kurikulum. Dalam kenyataannnya di lapangan isi silabus dan RPP tidak mengakomodir apa yang diharapkan. Kompetensi yang diharapkan tidak terdapat di dalamnya. Silabus dan RPP juga tidak menggambarkan perbedaan jelas karena silabus dan RPP isinya hampir sama persis.
Selain perangkat pembelajaran, penggunaan media juga penting. media dan sumber belum digunakan oleh guru dikarenakan keterbatasan dan kekurangkreatifan guru untuk memilih dan membuatnya. Media akan digunakan hanya jika media tersebut sudah dipersiapkan oleh sekolah.
Menyangkut pelaksanaan pembelajaran, juga tidak jauh bedanya dengan Persiapan pembelajaran. Rambu-rambu pelaksanaan KTSP tidak dijalankan karena ketidakmengertian guru dan dirasa sangat rumit. Kegiatan apersepsi dan motivasi tidak dilakukan di awal pembelajaran. Yang dilakukan pada kegiatan awal hanyalah menuliskan topik atau materi pokok pembelajaran di papan tulis. Hal ini menyebabkan siswa tidak siap untuk menerima materi pelajaran. Padahal kegiatan pendahuluan yang baik akan membawa pengaruh yang baik untuk kegiatan selanjutnya. Tidak adanya apersepsi dan motivasi membuat topik yang diajarkan dirasakan asing dan tidak ada hubungan dengan materi yang sudah diperoleh sebelumnya serta dengan kehidupannya. Selain pendahuluan yang kurang mendukung dan menghantar siswa menemukan hubungan dengan antar materi-materi matematika dan matematika dengan kehidupannya, biasanya wajah guru matematika terkenal bengis, kejam dan suka menghukum, wajahnya tidak menunjukkan antusiasme dan penerimaannya. Hal ini membuat siswa sudah ketakutan sebelum memulai pembelajaran. Bahkan tidak jarang siswa menolak mengikuti pelajaran matematika karena takut dengan gurunya.
Dalam kegiatan inti, guru memulainya dengan ceramah tentang materi dengan perhatiannya hanya untuk papan tulis, buku dan siswa tertentu. Padahal semua siswa mempunyai hak yang sama untuk diperhatikan. guru tidak memperhatikan perbedaan yang dimiliki oleh siswanya. Siswa dianggap memiliki kemampuan yang sama saja padahal dalam satu kelas terdiri dari beragam perbedaan dan keunikannya. Guru benar-benar menjalankan tugasnya yaitu mengurui siswa karena merasa dirinyalah yang paling tahu tentang matematika. Materi yang diajarkannya sangat abstrak, jauh dari pikiran dan pengalaman siswa dan kebenaran matematika adalah tetap (absolutism) sehingga tidak perlu ada perdebatan atau pertanyaan lagi. Pembelajaran matematika hanya mengejar target penyelesaian materi (materialism) padahal dalam kurikulum sekarang materi sudah tidak sebanyak kurikulum yang lalu. Walaupun kompetensi matematika selalu didenggungkan oleh KTSP, guru matematika tetap masih menggunakan paradigma lama dikarenakan sudah menjadi tradisi sehingga cukup susah menerima perubahan. Progresivism dirasakan hanya membuang waktu saja dan tidak akan membawa dampak yang lebih positif dari yang telah mereka lakukan. Metode ceramah masih mendominasi pembelajaran matematika.
Dari segi pengelolaan kelas, kelas matematika adalah kelas yang diam (siswanya), yang duduk menghadap guru, dan mencakar/berhitung.  Kelas matematika juga selalu menjadi kelas hukuman artinya selalu ada siswa yang dihukum karena tidak tahu atau tidak bisa menemukan jawaban.
Dari segi penilaian, guru hanya menggunakan penilaian akhir tanpa ada penilaian proses, karena dalam pembelajaran tidak ada proses yang dilakukan oleh siswa selain mendengar dan mencatat. Ketika memberikan soal yang dipentingkan bukan proses mendapatkan hasil tetapi lebih pada hasil akhir. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dalam menilai dan mengevaluasi hasil kerja siswa. Penilaian yang diberikan juga sangat subyektif dan tidak memberikan umpan balik yang berarti bagi siswa.
Untuk kegiatan akhir guru biasanya langsung memberikan pekerjaan rumah tanpa sebelumnya mengecek pemahaman siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan karena dirasakan menambah pekerjaannya dan membuang-buang waktu saja.

2.      Upayaku Membangun Filsafat Pendidikan Matematika
Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja.
Perubahan paradigma pendidikan matematika disebabkan berubahnya cara pandang terhadap pendidikan matematika. Hal tersebut mulai tercermin dari perubahan kurikulum. Kurikulum yang sebelumnya masih sentralistis dimana pusat sebagai pengambil keputusan berubah pada desentralisasi dimana para guru mempunyai tugas mengembangkan kurikulum matematika. Perubahan kurikulum akan berdampak pada unsur-unsur pendidikan yang lainnya. Untuk memahami perubahan dan dampaknya terhadap kita maka kita para guru matematika perlu dibekali dengan filsafat pendidikan matematika.
Sebagai guru saya dituntut untuk membangun filsafat pendidikan matematika yang berdasarkan pengamatan saya belum mendapatkan perhatian. Sebagai seorang guru pengetahuan tentang filsafat pendidikan matematika sangat penting. Dengan mengetahui filsafat pendidikan kita cara pandang kita terhadap pendidikan matematika tentunya akan berubah. Berbicara tentang filsafat pendidikan matematika sudah tentu menjadi tugas kita para guru matematika untuk membangun dan mengembangkannya dalam pendidikan matematika di tempat kita masing-masing.  Bagaimana upaya saya membangun filsafat pendidikan matematika ditinjau dari aspek ontologism, epistemologis dan aksiologis akan saya gambarkan sebagai berikut.
 Dari pandangan sebagian besar guru matematika seperti yang saya ceritakan di atas, siswa adalah individu yang diam. Karena siswa diam, guru harus bicara, pembelajaran layaknya kegiatan seminar (penyampaian materi), kalau bertanya ada sesi tersendiri, kalo tidak bertanya dianggap paham dan pembelajaran ditutup. Pembelajaran matematika tidak mengharapkan adanya pertanyaan karena guru matematika menganut paham  absolutism yaitu matematika bersifat tetap.   
Filsafat pendidikan matematika yang mau saya bangun dari kondisi tersebut adalah filsafat konstruktivism dengan kebenaran ilmu matematika yang dibangun berdasarkan sintetik a priori. Menurut saya siswa adalah is pembelajaran yang mempunyai kemampuan membangun suatu konsep matematikanya sendiri. Upaya yang Akan aku lakukan untuk membangun filsafat ini adalah Mulai dengan merubah pandangan saya tentang guru. Jika kemampuan sudah dipunyai siswa maka tugas saya sebagai guru adalah menyiapkan kondisi dan lingkungan yang membantu siswa menyalurkan potensi yang dimilikinya. Penyiapan kondisi dan lingkungan tercermin dari pembelajaran yang dilakukan khususnya menyangkut metode pembelajaran yang saya gunakan dalam pembelajaran matematika dimana metode yang digunakan adalah metode yang membantu siswa membangun konsep dengan atau tanpa bantuan guru misalnya metode penemuan.
Dalam hubungan dengan sentral dari pendidikan, mungkin paradigma lama yaitu pembelajaran berpusat pada guru (teacher center) sudah waktunya diganti oleh pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa. Dalam paradigma lama lebih dikenal istilah pengajaran sehingga sentral dari pendidikan matematika adalah guru. Paradigma pengajaran itu sudah berganti menjadi pembelajaran sehingga sudah saat siswa menjadi sentral dari pendidikan matematika. Jadi filsafat pendidikan matematika yang akan dibangun adalah Progresivism. Upaya yang kulakukan adalah membuat pembelajaran yang intinya pada bagaimana membuat siswa belajar baik dengan pemilihan metode ataupun pemilihan media.
 Siswa juga individu yang lagi bermain dan membutuhkan interaksi dengan sesama dan dengan orang dewasa. Dalam interaksi tersebut siswa membangun pengetahuannya. Jika interaksi yang dibangun optimal maka pengetahuan yang diperolehpun maksimal. Begitu pula dalam matematika. Karena matematika menurut anggapan siswa itu sulit maka ia membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk mengatasi kesulitan tersebut. Melalui interaksi dengan teman dan juga dengan guru siswa akan dengan mudah membangun konsep matematika yang konsep tersebut akan benar-benar tertanam dalam pikirannya. Filsafat pendidikan matematika yang akan  aku bangun adalah socio-konstruktivism. Upaya yang akan aku lakukan adalah dengan memilih dan menggunakan metode-metode yang menitikberatkan pada kegiatan kelompok, misalnya cooperatif.
Dalam hubungan dengan karakteristik siswa, suatu kelas terdiri atas siswa dengan segala perbedaannya. Tidak ada siswa yang sama dalam satu kelas. Ada siswa yang cepat berhitung ada pula siswa yang kemampuan berhitungnya sangat lamban bahkan belum bisa membedakan angka. Ada siswa yang cepat menangkap apa yang diajarkan oleh guru ada yang lamban. Ada siswa yang menghafal perkalian tapi ada juga yang perkaliannya masih menggunakan jari. Itulah perbedaan-perbedaan yang dimiliki siswa dalam hubungan dengan matematika. Pembelajaran matematika yang dilakukan hendaknya mempertimbangkan hal tersebut.  Filsafat pendidikan matematika yang akan dibangun adalah filsafat kategorism dan pluralism dimana saya membedakan antara siswa yang bodoh oleh guru dan siswa yang pintar. Membedakan disini bukan menyangkut pembedaan mereka secara fisik tapi bagaimana saya menggunakan banyak metode dan bervariasi sehingga mampu mengakomodir perbedaan-perbedaan tersebut.
Dari segi isi atau materi matematika, matematika berisi hal-hal yang abstrak karena itu saya perlu menggunakan pengalaman-pangalaman siswa dan juga menghadirkan benda-benda konkret sehingga siswa semakin mudah memahami materi yang diajarkan. Materi tersebut dihubungkan dengan masalah-masalah yang dihadapi sehingga penyelesaiannyapun membutuhkan pikiran dan pengalamannya bukan pada teori matematika yang memusingkan. Filsafat pendidikan matematika yang saya gunakan adalah realism dan eksistensialism. Upaya yang dilakukan adalah menghadirkan media atau benda konkret dalam pembelajaran matematika, menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki, dan menggunakan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari sehingga sarana untuk mengajarkan konsep matematika.
 Dilihat dari manfaat yang diperoleh oleh siswa masih jauh dari harapan. Yang akan aku lakukan adalah memilih dan menentukan nilai atau manfaat pragmatis yang sesuai dengan materi yang aku bawakan, sehingga apa yang diajarkan tidak sia-sia, dalam hubungan dengan KTSP mungkin nilai yang diharapkan dalam pembelajaran matematika adalah kompetensi. Dengan kompetensi yang dimiliki siswa dapat berguna untuk dirinya sendiri dan orang lain. Filsafat pendidikan matematika yang dianut adalah pragmatis. Upaya yang saya lakukan adalah memulai pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran sehingga siswa mempunyai arah tentang apa manfaat yang diperolehnya dan dalam pembelajaran matematika harus mengemukakan masalah-masalah yang ada di lingkungan siswa dan dipecahkan dengan menggunakan matematika.
Dalam hubungan dengan penilaian, penilaian yang dilakukan harus menekankan semua aspek yaitu kognitif, psikomotor dan afektif. Jadi bukan hanya pada hasil akhir saja tapi pada proses pembelajaran yang dilakukan. Padahal penilaian pada akhir belum menggambarkan siswa secara utuh. Filsafat pendidikan matematika yang dibangun adalah kontruktivism dengan upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan semua bentuk dan jenis tes yang dapat menggambarkan hasil pencapaian siswa secara total. Dalam filsafat konstruktivism yang dinilai dari siswa bukan bagaimana hasil tapi bagaimana proses siswa membangun Pengetahuan.
























BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa pendidikan matematika harus memperhatikan filsafat pendidikan matematika karena pendidikan matematika tidak akan berhasil jika filsafat tidak berperan di dalamnya. Sudah saatnya kita sebagai guru matematika menguasai filsafat pendidikan matematika sehingga kita dapat merubah pandangan kita tentang pendidikan yang sekarang sudah berubah paradigmanya. Upaya yang saya lakukan adalah dengan mengubah pandangan saya tentang paradigm pendidikan lama dan menggantikannya dengan paradigm pendidikan baru dengan lebih menekankan aspek filsafat dalam pendidikan matematika sehingga pembelajaran matematika akan mencapai tujuan yang diinginkan.
Filsafat pendidikan matematika yang akan aku bangun dalam pendidikan matematika adalah filsafat konstruktivism dengan membangun pengetahuan dengan dasar sintetik a priori, progresivism, socio-konstruktivism, kategorism, pluralism, realism, eksistensialism, dan pragmatis. Upaya yang dilakukan adalah memperhatikan pentingnya pemahaman terhadap konsep dengan memanfaatkan kemampuan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan, bekerja sama dalam kelompok. Pembelajaran lebih menekankan kehadiran benda konkret, penggunaan pengalaman hidup siswa, menggunakan situasi konkret. Penggunaan metode pembelajaran yang banyak dan bervariasi untuk melayani semua perbedaan individu dan tercapainya kompetensi siswa. Pembelajaran dan penilaian lebih menekankan pada proses serta nilai atau manfaat praktis yang akan diperoleh siswa dalam pendidikan matematika






DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Muhamad Zainal. 2010. Filsafat Pendidikan Matematika. Diambil pada tanggal 2 Desember 2010 dari http://meetabied.wordpress.com
Avigad, Jeremy. 2006. Philosophy of Mathematics. Diambil pada tanggal 20 November 2010 dari http://www.galileanlibrary.org/site/index.php? /page/index. html/_/essays/philosophyofscience/

Depdiknas:
a.      (2003). Undang-undang  Nomor 20 Tahun 2003,tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b.      (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 dalam pasal 19, tentang Standar Nasional Pendidikan.
c.       (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007, tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
d.      (2007) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007, tentang Standar Penilaian
e.       (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 74 Tahun 2006, tentang Guru.
f.       (2004) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. The Falmer Press. London

……..  What Is The Philosophy Of Mathematics Education?. University of Exeter. London

Hadi, Sutarto. 2009. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Kemur, Jance. 2009. Guru Dan Filsafat Pendidikan. Diambil pada tanggal  6 desember 2010 dari http://smp-acot.stbellarminus-jkt.net

Marsigit, 2008. Makalah seminar: Gerakan Reformasi Untuk Menggali dan Mengembangkan Nilai-Nilai Matematika Untuk Menggapai Kembali Nilai-Nilai Luhur Bangsa Menuju Standar Internasional Pendidikan. Yogyakarta: UNY

…….. 2010. The South Circle of School Philosophy. Diambil pada tanggal 15 Desember 2010 dari http://powermathematics.com

…….. 2001. Hand Out Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika.UNY, Yogyakarta

Milani, Robi. 2010. Hakikat Guru: Sebuah Perspektif. Diambil pada tanggal 2 Desember 2010 dari http://edukasi.kompasiana.com/2010/06/23/hakikat-guru-sebuah-perspektif/:

Herdian, 2008. Hakikat Kurikulum Diambil Pada Tanggal 14 Desember 2010 dari http://herdisaksul.wordpress.com/2008/06/03/hakekat-kurikulum/:  

Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Bigraf Publishing, Yogyakarta

Suherman, Erman. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas pendidikan Indonesia, Bandung

Sukardjono. 2007. Filsafat dan Sejarah Matematika. Universitas Terbuka, Jakarta

Sukmadinata, Nana Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta













Tidak ada komentar:

Posting Komentar